Saturday 3 October 2015

SDM KREATIF


MEMBANGUN PONDASI SDM KREATIF YANG CERDAS DAN BESWASEMBADA MELALUI SEKTOR PANGAN
Oleh: Wahyu Retno Larasati
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Gresik

GAMBARAN UMUM PERMASALAHAN KEPENDUDUKAN
Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana pada tahun 2012 telah memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa. peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi pula dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun). Menurut Armida, Indonesia telah memasuki bonus demografi. Dengan demikian, penduduk Indonesia berusia produktif lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif.
Pada tahun 2010, proporsi penduduk usia produktif adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031.
Tentu saja ini merupakan suatu berkah. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Impasnya adalah meningkatkannya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun, berkah ini bisa berbalik menjadi bencana jika bonus ini tidak dipersiapkan kedatangannya. Secara awam masalah yang paling dikhawatirkan adalah ketersediaan lapangan pekerjaan yang mencukupi untuk menampung tenaga kerja di masa mendatang. Sebenarnya, hal ini tidak perlu dipandang sebagai masalah yang berarti. Dengan kondisi perekonomian yang saat ini memasuki jaringan integrasi ASEAN melalui MEA, bukan waktunya lagi untuk berbicara di area lokal, interlokal maupun nasional. Keterbukaan lapangan kerja semakin luas karena sudah mencakup wilayah pasar tenaga kerja internasional. Masalah yang sebenarnya justru terjadi, ketika keberadaan lapangan kerja tidak disambut dengan kualitas penduduk. Akibatnya, sumber daya manusia yang melimpah ini akan terseleksi percuma oleh persaingan di dunia kerja dan pasar internasional.
Bercermin dari fakta yang terjadi, indeks pembangunan manusia atau human development index (HDI) Indonesia masih rendah. Dari 182 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 111. Sementara dikawasan ASEAN, HDI Indonesia berada di urutan enam dari 10 negara ASEAN. Posisi ini masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura. Hal ini membuktikan  tidak kompetitifnya tenaga kerja  Indonesia di dunia kerja baik di dalam ataupun luar negeri. Lihat saja bagaimana posisi pekerja Indonesia di luar negeri, sebagian besar hanya menjadi pembantu rumah tangga dengan berbagai kasus diskriminatif dari tuannya, dimana tidak sedikit dari mereka yang disiksa dan direndahkan. Sementara di dalam negeri sekali pun, pekerja indonesia masih kalah dengan pekerja asing. Hal ini ditandai dari banyaknya peluang kerja dan posisi strategis yang malah ditempati tenaga kerja asing. Benar-benar sebuah ironi, bagaikan ayam yang mati di lumbung padi, bukan?

GAGASAN YANG DITAWARKAN
Pada intinya, solusi yang harus dirumuskan adalah berkenaan dengan bagaimana cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, baik secara intelektual, praktikal dan moral. Solusi yang sering kali ditawarkan adalah melalui peningkatan mutu pendidikan. Tidak sedikit dana yang telah dikucurkan, namun hasilnya lulusan yang diproduksi justru masih kurang berkompeten dan kurang kompetitif saat diluncurkan ke dunia kerja. Meskipun, memang  tidak sedikit tenaga kerja profesional yang diciptakan melalui kontribusi pendidikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya pendidikan memang merupakan strategi yang efektif namun tidak efisien. Mengapa tidak efisien? Karena ini sama halnya dengan membangun bangunan baru  diatas bangunan lama yang sudah rapuh. Seharusnya, perkuat dulu pondasinya, maka bangunan yang dibangun diatasnyapun akan kokoh.
Pondasi yang penulis maksud disini adalah sektor dasar yang seringkali dijadikan indikator kelayakan taraf hidup masyarakat yaitu ketahanan pangan. Perhatian harusnya lebih difokuskan pada sektor ini, karena jika sektor pangan masyarakat semakin layak, maka sektor kesehatan dan pendidikanpun akan terangkat secara otomatis. Kesalahan yang belum juga berakhir adalah pangan kita yang masih impor. Beras, daging, susu, sayur-mayur bahkan buah-buahan semua masih kita impor (www.metrotvnews.com: 10 Desember 2014). Padahal semua itu merupakan hal pokok yang harus terpenuhi agar penduduk berada dalam kondisi hidup yang layak

IMPLIKASI SEKTOR PANGAN TERHADAP KEBERHASILAN PENDIDIKAN
Dalam prakteknya, keberhasilan sektor pendidikan tidak hanya ditentukan dengan kerapian rancangan program-program yang direncanakan, ketepatan kurikulum yang disusun serta berbagai tehnologi yang menfasilitasinya. Selain dari itu semua, keberhasilan sektor pendidikan nyatanya juga dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan peserta didik. Selain merupakan faktor bawaan yang seringkali disebut sebagai potensi atau fitrah, kecerdasan manusia juga dipengaruhi oleh konsumsinya. Dari segi inilah sektor pangan berpengaruh terhadap kualitas manusia. Maka untuk meningkatkan kualitasnya, selain kuantitas pangan yang harus terpenuhi bagi seluruh masyarakat, kualitas panganpun harus menjadi prioritas yang perlu diperhatikan. Kualitas pangan yang dimaksud disini, berkenaan dengan kandungan gizi dan nutrisi yang terkandung didalamnya.
Menteri Kesehatan RI, yang diwakili oleh Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, menerangkan bahwa gizi merupakan pondasi yang sangat penting dan memiliki peran besar dalam bebagai aspek yang pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap pembangunan suatu bangsa, diantaranya: 1) Investasi gizi pada remaja perempuan dapat meningkatkan statusnya kelak saat menjadi ibu dan bermanfaat bagi keluarga kecilnya sebagai cikal bakal pencetakan sumber daya manusia; 2) Perhatian khusus pada gizi berdampak langsung pada keuntungan di bidang pertanian dengan peningkatan produksi untuk penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat, dan menjaga keseimbangan lingkungan dengan mempertahankan makan berbasis pangan lokal; 3) Perbaikan gizi merupakan langkah awal dalam pengembangan SDM dan penurunan kemiskinan; 4) Gizi yang cukup dapat memperbaiki kondisi pasca konflik; 5) program perbaikan gizi merupakan sebuah proses partisipasi yang mengedepankan HAM; dan 6) Gizi yang cukup meningkatkan imunitas dan berperan pada pencegahan penyakit tidak menular (PTM).( www.depkes.go.id: 17 April 2015)
Gizi yang baik diperoleh dengan memperbanyak konsumsi daging, susu, telur dan ikan. Daging merupakan pangan yang sangat baik sebagai sumber protein. Secara umum, komposisi protein dalam daging adalah sebesar 19% (16-22%). Mengkonsumsi 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap hari, yaitu sekitar 10% kebutuhan kalori, 50% protein, 35% zat besi (Fe), dan 25-60% vitamin B kompleks. Daging juga merupakan sumber mineral seperti magnesium, copper, cobalt,phosphor, chronium, nikel dan selenium yang sangat bermafaat bagi tubuh.
Adapun susu sangat penting bagi tubuh karena mengandung dua komponen penting di dalamnya yaitu protein dan mineral. Protein dalam susu mengandung 11 asam amino esensial yang sering kali tidak ditemukan dalam makanan asal padi-padian (cereal grains). Mengkonsumsi 1,1 liter susu segar per hari untuk anak-anak sampai umur 6 tahun akan mencukupi seluruh kebutuhan protein dalam sehari. Sedangkan untuk anak umur 6-14 tahun mencukupi sebesar 60%, dan orang dewasa 44%. Susu juga dapat mensuplai sekitar 725 mg kebutuhan kalsium manusia. Susu dan hasil olahannya  merupakan sumber vitamin A, D, E, K, B1, B6, B12, phosphor, dan magnesium. Keistimewaan lainnya adalah lemak susu yang berfungsi sebagai lemak fisiologis dan kandungan laktosa yang dapat digunakan tubuh untuk perkembangan sel otak.
Sama halnya dengan daging dan susu, telur dan ikan juga penting bagi tubuh manusia. Lima manfaat terbaik dari mengkonsumsi telur, yaitu sebagai asupan nutrisi yang penting karena kaya akan vitamin, mencegah penyebaran bakteri E.coli, mencegah kadar kolesterol dalam darah, baik untuk kesehatan mata karena kandungan lutein dan zeaxanthin, serta tentu saja sebagai sumber protein tinggi. Sementara itu dalam ikan banyak tekandung protein dan mineral yang hampur sama dengan kandungan yang ada di dalam daging. Sehingga, saat harga daging melonjak, ikan dapat dijadikan makanan alternatif substitusi daging yang dapat digunakan sebagai sumber protein hewani.
Sayang faktanya, tingkat konsumsi daging, susu, telur dan ikan di Indonesia masih tergolong rendah. Untuk daging saja, Director Equity Research Credit Suisse Ella Nusantoro menuturkan, dalam survei yang dilakukannya terhadap 1.600 orang di Indonesia, konsumsi daging baik sapi, kambing, domba maupun ayam mengalami penurunan dari sebelumnya 6,1% pada 2013, menjadi 5,3% pada 2014. Rendahnya konsumsi daging justru berbanding terbalik dengan konsumsi mie instan di Indonesia. Padahal dengan mengonsumsi mie instan secara kontinyu akan berdampak pada menurunnya kesehatan, namun fakta menunjukkan konsumsinya justru meningkat. Dilihat dari brand Indomie yang masih mendominasi pasar, konsumsinya meningkat dari sebelumnya 38% pada 2013, menjadi 40% pada 2014. Konsumsi mie Indomie ini banyak berasal dari kalangan urban, yang mencapai 42%. Sementara untuk kalangan menengah ke bawah sebesar 36%.
Dalam survei tersebut juga disebutkan bahwa konsumsi daging paling tinggi berasal dari Rusia yang mencapai 20,7% per tahun, Saudi Arabia 17,2% per tahun, Brazil 14,8% per tahun, China 14,7% per tahun, Turki 14,2% per tahun, Meksiko 14% per tahun, Afrika Selatan 13,9% per tahun, India 7,8% per tahun, dan Indonesia 5,3% per tahun. Sementara untuk tingkat konsumsi susu, Indonesia mengkonsumsi 12 liter, sedangkan Malaysia 37 liter dan New Zealand 105 liter. Sementara itu, data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pada tahun 2014 konsumsi ikan nasional hanya mencapai 38 kilogram (kg) per kapita per tahun. Sementara itu, Malaysia sudah mencapai 70 kg per kapita per tahun dan Jepang 140 kg per kapita per tahun. Di tahun 2019, pemerintah menargetkan konsumsi ikan nasional per kapita per tahun bisa mencapai 50 kg. (www.jitunews.com:29 April 2014)
Viktor Siagiandalam tulisannya yang berjudul Peningkatan Protein Hewani untuk Ketahanan Pangan, terbitan Balai Penelitian Teknologi Pangan Sumatera Selatan, tahun 2008, memaparkan bahwa rendahnya tingkat konsumsi  susu, daging, dan telur dan ikan di Indonesia sama artinya dengan relatif rendahnya tingkat konsumsi protein hewani, yaitu 4,7 gram/orang/hari, jauh dari target 6 gram/orang/hari. Padahal di Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 gram/orang/hari. Di  negara-negara maju seperti Amerika  Serikat, Prancis,  Jepang, Kanada, dan Inggris,tingkat konsumsi protein hewani adalah 50-80 gram/kapita/hari. Di negara-negara berkembang lainnya, seperti, Korea, Brasil, dan Tiongkok 20-40 gram/kapita/hari. Rendahnya tingkat konsumsi masyarakat akan susu, daging, dan telur sebagai sumber protein hewani yang utama, bisa jadi merupakan salah satu penyebab kurang optimalnya performa, kreativitas, kecerdasan, mobilitas, kinerja, dan etos kerja bangsa ini. Karenanya, susu, daging, dan telur harus lebih dikenalkan kepada masyarakat. Sejatinya, sumber pangan hewani sangat berperan dalam menopang kesehatan, kecerdasan, dan pembangunan sumberdaya manusia.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari semua paparan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam menciptakan pondasi sumber daya manusia yang cerdas dan produktif, penting sekali untuk memprioritaskan ketahanan pangan khususnya pada sektor ketersediaannya dan gizi yang dikandungnya. Kita sebagai sumber daya manusia yang bijak harus dapat memilih dan memilah makanan yang harus dikonsumsi agar bermanfaat baik secara fisik maupun psikologis. Kita harus sedapat mungkin menghindari konsumsi makanan yang bersifat junk food, karena selain berdampak buruk bagi kesehatan secara fisik juga mengurangi tingkat kecerdasan dari segi  psikologis, terutama jika dikonsumsi oleh anak-anak. Kita harus memperbanyak konsumsi protein hewani karena sejatinya, sumber pangan dengan protein hewani sangat berperan dalam menopang kesehatan, kecerdasan, dan pembangunan sumber daya manusia.

Intinya, saat ketersediaan pangan dan kebutuhan gizi terpenuhi, maka untuk mengelolah sumber daya manusia melalui pendidikan, bukan lagi menjadi hal yang sulit. Pendidikanpun akan menjadi upaya yang efektif dan efisien dalam menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, produktif dan berswasembada. Sumber daya manusia seperti inilah yang dibutuhkan dalam dunia kerja, agar dapat bersaing dengan sumber daya manusia dari negara lain. Sehingga dengan bonus demografi yang indonesia miliki di masa mendatang, tidak akan menjadi beban perekonomian melain menjadi agen pembangun perekonomian bangsa, agent of economic development.


REFERENSI:

www.depkes.go.id:17 April 2015 tentang Peran Gizi Dalam Menciptakan SDM Berkualitas
www.infobanknews.com:10 April 2015 tentang Tingkat Konsumsi Daging Di Indonesia
www.jitunews.com: 29 April 2014 tentang Rendahnya Tingkat Konsumsi Daging dan Susu Masyarakat Indonesia.
www.kontan.co.id: 26 Maret 2015 tentang Tingkat Konsumsi Ikan Masyarakat Masih Rendah
www.metrotvnews.com: 10 Desember 2014 tentang Ketahanan Pangan Indonesia Menjelang MEA 2015

No comments:

Post a Comment