MEMBANGUN
PONDASI SDM KREATIF YANG CERDAS DAN BESWASEMBADA MELALUI SEKTOR PANGAN
Oleh: Wahyu
Retno Larasati
Mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Gresik
GAMBARAN UMUM PERMASALAHAN
KEPENDUDUKAN
Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana pada tahun 2012
telah memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang
berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010
yang sebesar 237,6 juta jiwa. peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut
dibarengi pula dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun
sampai 65 tahun). Menurut Armida, Indonesia telah memasuki bonus demografi.
Dengan demikian, penduduk Indonesia berusia produktif lebih banyak daripada
penduduk yang tak produktif.
Pada tahun 2010, proporsi penduduk usia produktif
adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen
pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif
menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak
produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5
persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031.
Tentu saja ini merupakan suatu
berkah. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi
pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih
tinggi. Impasnya adalah meningkatkannya kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Namun, berkah ini bisa berbalik menjadi bencana jika bonus ini
tidak dipersiapkan kedatangannya. Secara awam masalah yang paling dikhawatirkan
adalah ketersediaan lapangan pekerjaan yang mencukupi untuk menampung tenaga
kerja di masa mendatang. Sebenarnya, hal ini tidak perlu dipandang sebagai
masalah yang berarti. Dengan kondisi perekonomian yang saat ini memasuki
jaringan integrasi ASEAN melalui MEA, bukan waktunya lagi untuk berbicara di
area lokal, interlokal maupun nasional. Keterbukaan lapangan kerja semakin luas
karena sudah mencakup wilayah pasar tenaga kerja internasional. Masalah yang
sebenarnya justru terjadi, ketika keberadaan lapangan kerja tidak disambut
dengan kualitas penduduk. Akibatnya, sumber daya manusia yang melimpah ini akan
terseleksi percuma oleh persaingan di dunia kerja dan pasar internasional.
Bercermin dari fakta yang terjadi, indeks
pembangunan manusia atau human development index (HDI) Indonesia masih rendah.
Dari 182 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 111. Sementara dikawasan
ASEAN, HDI Indonesia berada di urutan enam dari 10 negara ASEAN. Posisi ini
masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura. Hal ini
membuktikan tidak kompetitifnya tenaga
kerja Indonesia di dunia kerja baik di
dalam ataupun luar negeri. Lihat saja bagaimana posisi pekerja Indonesia di
luar negeri, sebagian besar hanya menjadi pembantu rumah tangga dengan berbagai
kasus diskriminatif dari tuannya, dimana tidak sedikit dari mereka yang disiksa
dan direndahkan. Sementara di dalam negeri sekali pun, pekerja indonesia masih
kalah dengan pekerja asing. Hal ini ditandai dari banyaknya peluang kerja dan
posisi strategis yang malah ditempati tenaga kerja asing. Benar-benar sebuah
ironi, bagaikan ayam yang mati di lumbung padi, bukan?
GAGASAN YANG
DITAWARKAN
Pada intinya, solusi yang harus
dirumuskan adalah berkenaan dengan bagaimana cara meningkatkan kualitas sumber
daya manusia di Indonesia, baik secara intelektual, praktikal dan moral. Solusi
yang sering kali ditawarkan adalah melalui peningkatan mutu pendidikan. Tidak
sedikit dana yang telah dikucurkan, namun hasilnya lulusan yang diproduksi
justru masih kurang berkompeten dan kurang kompetitif saat diluncurkan ke dunia
kerja. Meskipun, memang tidak sedikit
tenaga kerja profesional yang diciptakan melalui kontribusi pendidikan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa sebenarnya pendidikan memang merupakan strategi yang
efektif namun tidak efisien. Mengapa tidak efisien? Karena ini sama halnya
dengan membangun bangunan baru diatas
bangunan lama yang sudah rapuh. Seharusnya, perkuat dulu pondasinya, maka
bangunan yang dibangun diatasnyapun akan kokoh.
Pondasi yang penulis maksud disini
adalah sektor dasar yang seringkali dijadikan indikator kelayakan taraf hidup
masyarakat yaitu ketahanan pangan. Perhatian harusnya lebih difokuskan pada
sektor ini, karena jika sektor pangan masyarakat semakin layak, maka sektor
kesehatan dan pendidikanpun akan terangkat secara otomatis. Kesalahan yang
belum juga berakhir adalah pangan kita yang masih impor. Beras, daging, susu,
sayur-mayur bahkan buah-buahan semua masih kita impor (www.metrotvnews.com: 10 Desember 2014). Padahal semua
itu merupakan hal pokok yang harus terpenuhi agar penduduk berada dalam kondisi
hidup yang layak
IMPLIKASI
SEKTOR PANGAN TERHADAP KEBERHASILAN PENDIDIKAN
Dalam prakteknya, keberhasilan
sektor pendidikan tidak hanya ditentukan dengan kerapian rancangan
program-program yang direncanakan, ketepatan kurikulum yang disusun serta
berbagai tehnologi yang menfasilitasinya. Selain dari itu semua, keberhasilan
sektor pendidikan nyatanya juga dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan peserta
didik. Selain merupakan faktor bawaan yang seringkali disebut sebagai potensi
atau fitrah, kecerdasan manusia juga dipengaruhi oleh konsumsinya. Dari segi
inilah sektor pangan berpengaruh terhadap kualitas manusia. Maka untuk
meningkatkan kualitasnya, selain kuantitas pangan yang harus terpenuhi bagi
seluruh masyarakat, kualitas panganpun harus menjadi prioritas yang perlu
diperhatikan. Kualitas pangan yang dimaksud disini, berkenaan dengan kandungan
gizi dan nutrisi yang terkandung didalamnya.
Menteri
Kesehatan RI, yang diwakili oleh Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, menerangkan bahwa gizi merupakan
pondasi yang sangat penting dan memiliki peran besar dalam bebagai aspek yang
pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap pembangunan suatu bangsa,
diantaranya: 1) Investasi gizi pada remaja perempuan dapat meningkatkan
statusnya kelak saat menjadi ibu dan bermanfaat bagi keluarga kecilnya sebagai
cikal bakal pencetakan sumber daya manusia; 2) Perhatian khusus pada gizi
berdampak langsung pada keuntungan di bidang pertanian dengan peningkatan
produksi untuk penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat, dan menjaga
keseimbangan lingkungan dengan mempertahankan makan berbasis pangan lokal; 3)
Perbaikan gizi merupakan langkah awal dalam pengembangan SDM dan penurunan
kemiskinan; 4) Gizi yang cukup dapat memperbaiki kondisi pasca konflik; 5)
program perbaikan gizi merupakan sebuah proses partisipasi yang mengedepankan
HAM; dan 6) Gizi yang cukup meningkatkan imunitas dan berperan pada pencegahan
penyakit tidak menular (PTM).( www.depkes.go.id: 17 April 2015)
Gizi yang baik diperoleh dengan memperbanyak konsumsi
daging, susu, telur dan ikan. Daging merupakan pangan yang sangat baik
sebagai sumber protein. Secara umum, komposisi protein dalam daging adalah
sebesar 19% (16-22%). Mengkonsumsi 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan
gizi orang dewasa setiap hari, yaitu sekitar 10% kebutuhan kalori, 50% protein,
35% zat besi (Fe), dan 25-60% vitamin B kompleks. Daging juga merupakan sumber
mineral seperti magnesium, copper,
cobalt,phosphor, chronium,
nikel dan selenium yang sangat bermafaat bagi tubuh.
Adapun
susu sangat penting bagi tubuh karena mengandung dua komponen penting di
dalamnya yaitu protein dan mineral.
Protein dalam susu mengandung 11 asam amino esensial yang sering kali tidak
ditemukan dalam makanan asal padi-padian (cereal grains). Mengkonsumsi
1,1 liter susu segar per hari untuk anak-anak sampai umur 6 tahun akan
mencukupi seluruh kebutuhan protein dalam sehari. Sedangkan untuk anak umur
6-14 tahun mencukupi sebesar 60%, dan orang dewasa 44%. Susu juga dapat
mensuplai sekitar 725 mg kebutuhan kalsium manusia. Susu dan hasil
olahannya merupakan sumber vitamin A, D, E, K, B1, B6, B12, phosphor,
dan magnesium. Keistimewaan lainnya adalah lemak susu yang berfungsi sebagai
lemak fisiologis dan kandungan laktosa yang dapat digunakan tubuh untuk
perkembangan sel otak.
Sama
halnya dengan daging dan susu, telur dan ikan juga penting bagi tubuh manusia. Lima
manfaat terbaik dari mengkonsumsi telur, yaitu sebagai asupan nutrisi yang
penting karena kaya akan vitamin, mencegah penyebaran bakteri E.coli,
mencegah kadar kolesterol dalam darah, baik untuk kesehatan mata karena
kandungan lutein dan zeaxanthin,
serta tentu saja sebagai sumber protein tinggi. Sementara itu dalam ikan banyak
tekandung protein dan mineral yang hampur sama dengan kandungan yang ada di
dalam daging. Sehingga, saat harga daging melonjak, ikan dapat dijadikan
makanan alternatif substitusi daging yang dapat digunakan sebagai sumber
protein hewani.
Sayang
faktanya, tingkat konsumsi daging, susu, telur dan ikan di Indonesia masih
tergolong rendah. Untuk daging saja, Director Equity Research Credit Suisse Ella Nusantoro
menuturkan, dalam survei yang dilakukannya terhadap 1.600 orang di Indonesia,
konsumsi daging baik sapi, kambing, domba maupun ayam mengalami penurunan dari
sebelumnya 6,1% pada 2013, menjadi 5,3% pada 2014. Rendahnya konsumsi daging
justru berbanding terbalik dengan konsumsi mie instan di Indonesia. Padahal
dengan mengonsumsi mie instan secara kontinyu akan berdampak pada menurunnya
kesehatan, namun fakta menunjukkan konsumsinya justru meningkat. Dilihat dari
brand Indomie yang masih mendominasi pasar, konsumsinya meningkat dari
sebelumnya 38% pada 2013, menjadi 40% pada 2014. Konsumsi mie Indomie ini
banyak berasal dari kalangan urban, yang mencapai 42%. Sementara untuk kalangan
menengah ke bawah sebesar 36%.
Dalam survei tersebut juga disebutkan bahwa
konsumsi daging paling tinggi berasal dari Rusia yang mencapai 20,7% per tahun,
Saudi Arabia 17,2% per tahun, Brazil 14,8% per tahun, China 14,7% per tahun,
Turki 14,2% per tahun, Meksiko 14% per tahun, Afrika Selatan 13,9% per tahun,
India 7,8% per tahun, dan Indonesia 5,3% per tahun. Sementara untuk
tingkat konsumsi susu, Indonesia mengkonsumsi 12 liter, sedangkan Malaysia 37 liter
dan New Zealand 105 liter. Sementara itu,
data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pada tahun 2014 konsumsi
ikan nasional hanya mencapai 38 kilogram (kg) per kapita per tahun. Sementara
itu, Malaysia sudah mencapai 70 kg per kapita per tahun dan Jepang 140 kg per
kapita per tahun. Di tahun 2019, pemerintah menargetkan konsumsi ikan nasional
per kapita per tahun bisa mencapai 50 kg. (www.jitunews.com:29 April 2014)
Viktor
Siagiandalam tulisannya yang berjudul Peningkatan Protein Hewani untuk Ketahanan Pangan, terbitan Balai Penelitian
Teknologi Pangan Sumatera Selatan, tahun 2008, memaparkan bahwa rendahnya
tingkat konsumsi susu, daging, dan telur dan ikan di Indonesia sama
artinya dengan relatif rendahnya tingkat konsumsi protein hewani, yaitu 4,7
gram/orang/hari, jauh dari target 6 gram/orang/hari. Padahal di Malaysia,
Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 gram/orang/hari. Di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jepang, Kanada, dan
Inggris,tingkat konsumsi protein hewani adalah 50-80 gram/kapita/hari. Di negara-negara
berkembang lainnya, seperti, Korea, Brasil, dan Tiongkok 20-40
gram/kapita/hari. Rendahnya tingkat konsumsi masyarakat akan susu, daging,
dan telur sebagai sumber protein hewani yang utama, bisa jadi merupakan salah
satu penyebab kurang optimalnya performa, kreativitas, kecerdasan, mobilitas,
kinerja, dan etos kerja bangsa ini. Karenanya, susu, daging, dan telur harus
lebih dikenalkan kepada masyarakat. Sejatinya, sumber pangan hewani sangat
berperan dalam menopang kesehatan, kecerdasan, dan pembangunan sumberdaya
manusia.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari semua paparan diatas dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam menciptakan pondasi sumber daya manusia
yang cerdas dan produktif, penting sekali untuk memprioritaskan ketahanan
pangan khususnya pada sektor ketersediaannya dan gizi yang dikandungnya. Kita
sebagai sumber daya manusia yang bijak harus dapat memilih dan memilah makanan
yang harus dikonsumsi agar bermanfaat baik secara fisik maupun psikologis. Kita
harus sedapat mungkin menghindari konsumsi makanan yang bersifat junk food, karena selain berdampak buruk
bagi kesehatan secara fisik juga mengurangi tingkat kecerdasan dari segi psikologis, terutama jika dikonsumsi oleh
anak-anak. Kita harus memperbanyak konsumsi protein hewani karena sejatinya,
sumber pangan dengan protein hewani sangat berperan dalam menopang kesehatan,
kecerdasan, dan pembangunan sumber daya manusia.
Intinya, saat ketersediaan pangan dan kebutuhan gizi
terpenuhi, maka untuk mengelolah sumber daya manusia melalui pendidikan, bukan
lagi menjadi hal yang sulit. Pendidikanpun akan menjadi upaya yang efektif dan
efisien dalam menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, produktif dan
berswasembada. Sumber daya manusia seperti inilah yang dibutuhkan dalam dunia
kerja, agar dapat bersaing dengan sumber daya manusia dari negara lain.
Sehingga dengan bonus demografi yang indonesia miliki di masa mendatang, tidak
akan menjadi beban perekonomian melain menjadi agen pembangun perekonomian
bangsa, agent of economic development.
REFERENSI:
www.depkes.go.id:17 April 2015 tentang Peran Gizi Dalam Menciptakan SDM Berkualitas
www.infobanknews.com:10 April 2015 tentang Tingkat Konsumsi Daging Di Indonesia
www.jitunews.com: 29 April 2014 tentang Rendahnya Tingkat Konsumsi Daging dan Susu Masyarakat Indonesia.
www.kontan.co.id: 26 Maret 2015 tentang Tingkat Konsumsi Ikan Masyarakat Masih Rendah
www.metrotvnews.com: 10 Desember 2014 tentang Ketahanan Pangan Indonesia Menjelang MEA 2015
No comments:
Post a Comment