Friday 24 April 2015

KOLEKSI CERPEN 3


PANGGIL AKU MAMA
KUPU-KUPU KERTAS
By: Ebid GAD
Setiap waktu…
Engkau tersenyum
Sudut matamu,
Memancarkan rasa…
Keresahan yang terbenam,
Kerinduan yang tertahan
Luka dalam yang tersembunyi
Jauh di lubuk hati…
Kata-katamu…
Riuh mengalir bagai gerimis…
Kupu-kupu kertas..
Yang terbang kian kemari..
Aneka rupa dan warna
Di bias lampu temaram…
            Ku lihat dia di tepi kolam. Jari jemarinya asyik berdansa di atas dawai gitar yang di eja setiap kuncinya. Aku hafal betul suasana hatinya setiap kali dia memilih untuk melantunkan senandung Ebiet itu. Dan aku tau tiada yang lain selain aku yang bisa membuatnya sesedih ini.
            Terkadang aku memang merasa sangat bersalah setiap kali membuatnya seperti ini. Namun entah mengapa, rasa benciku tak pernah teredam setiap kali aku melihat anak itu. Wajahnya selalu mengingatkanku akan insiden 21 tahun yang lalu. Meskipun bukan dia penyebabnya, namun dialah akibat yang menyeruak menjadi momok dalam rumah tanggaku.
            Hari ini aku memang benar-benar mempermalukannya di kantor. Dia yang tadinya seorang direktur creative ku turunkan begitu saja menjadi seorang office boy. Aku memang sengaja karena aku tak rela anak itu mencampuri kerajaan bisnisku. Meskipun enam bulan terakhir, selama aku terpuruk di ranjang rumah sakit, dia telah memberikan kontribusi yang besar untuk perusahaanku lewat tender-tender besar yang berhasil ia menangkan. Aku tak peduli, akulah pimpinannya, tentu secara mutlak hak veto berpihak di kedua tanganku.
“Bu!”sapanya padaku membuyarkan renunganku, aku sedikit malu karena tertangkap basah sedang mengamatinya.”Baru pulang, Bu?perlu saya buatkan minuman hangat?”tawarnya padaku
“Nggak usah!”jawabku ketus
“Ya sudah, saya permisi dulu, sugeng dalu..”ku lihat sikapnya masih sangat hangat, tak terlintas sedikitpun raut marah di wajahnya.
**
“Mang Kas….berangkat ya..”teriaknya ku dengar pagi-pagi, ku toleh dari jendela kamarku, benar memang dia dengan seragam OB dan sepeda jengkinya. Sepagi ini dia sudah berangkat, “Lho Den, kok nggak bawa mobil?mobilnya udah Mang siapin.”
“Mang..mang…nggak lihat seragam baru saya…masak saya ke kantor bawa mobil…kan nggak lucu, Mang?”guraunya
“Hahahah…iya juga ya, Den..?”
“Lho? pagi-pagi kok udah berangkat?”sapa putra sulungku, yang baru saja pulang jogging.”Nggak bareng mas aja, hmm?”
“Nggak lah, Mas?Aji naik sepeda aja, sekalian olahraga, duluan ya, Mas.”
“Dia selalu berangkat sepagi ini?”tanyaku pada putra sulungku
“Yah.. anak yang rajin, punya integritas dan passion yang tinggi, tapi mama justru terlalu mementingkan ego dan terkesan subyektif.”tutur putraku dengan nada sedikit marah. Aku tau betul dia sangat berpihak pada adiknya itu.
##
            Akupun sampai di kantor. Ku lihat dia sedang membersihkan kaca jendela kantor.
“Lho? pak Aji? turun jadi OB sekarang?” tanya seorang dewan direksi
dia hanya tersenyum.”Pak Aji… Pak Aji…sarjana luar negri kok mau-maunya di taruh di bagian OB,  kan kinerja bapak saya lihat juga sangat baik” ku dengarkan saja pembicaraan mereka.
“Nggakpapa Pak, saya kemaren kan cuma menggantikan untuk sementara saja, lagipula sesuatu yang di raih dari nol itukan lebih terasa perjuangannya daripada yang di raih secara instant,”
“Saya salut sama pak Aji, ya sudah, saya ke dalam dulu ya!”
“Ya, mari..” sebijaksana itukah dia? tidak sedikitpun ku lihat urat malu yang menggeliat di wajahnya, dia memang sangat tenang. Akupun bergerak mendekatinya. Tapi aku kembali berpikir, untuk apa aku mendekatinya.
**
            Jam makan siangpun tiba. Ku lihat dia masih asyik bekerja membantu karyawan lain menyelesaikan tugasnya.
“Aji itu pimpinan yang baik, dia tidak hanya sekedar memimpin, memerintah lalu menunggu laporan di sodorkan untuk diteliti, tapi selama dia bekerja dulu, dia selalu turun membimbing timnya menyelesaikan tugas, dia pekerja keras, telaten dan tangguh.”tutur putraku yang bicara di belakangku”itu sebabnya dia sangat dihormati oleh karyawan disini?bukankah dulu ayah juga seperti itu?”
“Jangan pernah samakan dia dengan ayah kamu, dia bukan siapa-siapa ayah kamu, dia cuma anak haram, anak pembunuh ayah kamu,”tegasku yang tak suka dia menyamakan anak itu dengan almarhum suamiku.
“Mama benar, dia mungkin anak haram bagi mama, tapi dia justru lahir dari rahim mama, dia membawa darah saya begitupun juga dia membawa darah ayah.”akupun menamparnya,entah kenapa akhir-akhir ini dia mulai sangat berani menentangku dan bicara tidak hormat kepadaku. Semuapun memperhatikan kami, termasuk dia.
“Kamu sudah bikin mama sakit hati.”
“Sakit? masih lebih sakit hati saya setiap kali melihat mama menyakiti Aji, mama bukan ibu yang baik, suatu hari nanti mama akan menyesal sudah memperlakukan Aji seperti ini.”diapun meninggalkanku begitu saja.
“Sudah-sudah, ayo kita kerja lagi.”dia mencoba mendisiplinkan karyawan yang sempat gaduh melihat pertengkaranku dengan putraku tadi.”Ibu, tenang ya?”diapun mendekatiku dan coba menenangkanku
“Seharusnya saya memang melenyapkan kamu dari dulu, kamu dan bapak kamu sudah menghancurkan rumah tangga saya.”ku lihat matanya mulai berkaca-kaca. Biarkan, aku memang sengaja.
**
            Sepulang kerja ku habiskan waktuku di luar hingga larut malam. Rasanya aku tak ingin pulang ke rumah karena suasana hatiku sangat buruk, namun ku coba menguatkan diri. Akupun pulang sangat larut. Tak ku lihat dia duduk di depan pintu rumah seperti  biasa. Sejak kecil dia selalu menunggu dan menyambutku datang selarut apapun itu. Entah kenapa malam ini aku tak melihatnya di sana.
Rumah terasa sangat sepi. Sepertinya semua sudah pergi tidur. Aku memang tak pernah pulang selarut ini. Ku lihat pintu kamar Aji masih terbuka, akupun ke sana, entah kenapa aku sangat tertarik untuk kesana. Ku tengok dia. Rupanya dia sudah nyenyak. Baru sekali ini aku masuk ke kamarnya. Ku lihat lampu meja kerjanya masih menyala dan ada sebuah buku harian di sana. Akupun mengambilnya dan membawanya keluar dengan lancang.
Ku bawa buku itu ke kamarku. Entah kenapa aku sangat penasaran dengan apa yang di tulisnya di dalam buku itu. Ku buka perlahan, ku amati, sepertinya buku ini mulai di tulis sejak dia masih bocah. Akupun mulai membaca.
“Hari ini,aku dapat juara lagi,tapi sayang ibu nggak lihat aku waktu tadi aku lomba. Mang Kas bilang ibu memang nggak mau lihat, tapi aku percaya sebenarnya ibu bukan nggak mau lihat aku, tapi ibu memang sedang sibuk kerja.”
(*)
            “Aku nggak percaya waktu temen-temen ibu bilang kalau ibu nggak sayang sama aku. Kalau ibu nggak sayang sama aku, kenapa ibu mau mengandungku selama 9 bulan?itukan berarti ibu sayang sama aku”
(*)
“Ibu memang sering bentak-bentak aku, ngomong kasar ke aku, dan nyuruh ngerjain apa-apa sendiri, itu bukan karena ibu nggak suka sama aku, tapi aku tau, ibu pasti pingin aku jadi anak yang kuat dan mandiri.”
(*)
“Hari ini mas Unggul ulang tahun dan ibu ngasih dia kado mainan yang baguuuusss banget, semoga di hari ulang tahunku nanti, ibu juga ngasih kado yang sama bagusnya kayak punya mas Unggul”
(*)
“Hari ini aku ulang tahun,aku pingin banget ibu kasih aku kado seperti yang ibu kasih sama mas Unggul, tapi waktu ibu pulang, ibu nggak bawa apa-apa buat aku, aku nggak papa, mungkin saja ibu memang lagi nggak punya uang.”
(*)
“Akhirnya aku lulus SMP, aku udah tambah gede nih.. bangku SMA sudah di depan mata, sayangnya waktu wisuda tadi ibu nggak bisa datang katanya ibu lagi sakit, jadi yang datang malah Mang Kas sama Bik Mar, sedih sih…saat temen-temen bisa foto-foto sama papa mamanya aku justru bikin rekor foto sama supir ibuku.”
(*)
“Terkadang aku bingung, mas Unggul boleh panggil ibu, mama…kenapa aku nggak boleh ya? andai aku bisa panggil beliau mama biar sama-sama kayak mas Unggul”
Tak terasa banyak sudah air mataku yang tumpah saat membaca buku harian ini. Aku tidak pernah merasa seharu ini sebelumnya. Tiba-tiba saja sebuah bulpoint jatuh di bawah kakiku. Ada sebuah lembaran yang kelihatannya baru saja di tulisnya. Ku buka halaman itu.
“Besok usiaku menginjak 22 tahun, tak terasa aku semakin dewasa, aku bersyukur banyak sekali pencapaian yang berhasil aku raih, namun di sisi lain, aku juga harus menerima kenyataan bahwa hal yang selama ini aku tepis kenyataannya memang benar adanya, setelah ku baca kembali buku harian ini dari awal, akhirnya aku sadar…ibu, memang tak pernah menyayangiku selayaknya putra yang lahir dari rahimnya. Ibu membenciku, di matanya aku hanya anak haram dari pembunuh almarhum suaminya. Aku merasa sangat bersalah setiap kali melihat wajah ibu. Maka untuk menebus semuanya aku rela menukar apapun untuk kebahagiaannya, termasuk memberikan nyawaku untuk di tukar dengan nyawa keduanya. Semoga apa yang sudah aku korbankan bisa menebus kebahagiaannya yang pernah aku renggut dengan kehadiranku di dunia ini. Saat ini rasanya nafasku tinggal sisa-sisa terakhir. Aku tidak lagi kuat menunggu dan menyambutnya pulang seperti biasa karena tubuhku sudah mulai ringkih. Aku hanya bisa berharap aku masih bisa melewati malam ini agar aku bisa menjemput 22 tahunku dengan melihat senyumnya esok hari. Saat ini aku tak lagi menginginkan apapun darinya tuhan, boleh memanggilnya dengan panggilan mama..itu saja cukup mengantarkan aku tidur tenang…sungguh aku ingin memanggilnya mama….mama…”
            Spontan saja aku langsung menuju kamarnya begitu aku selesai membaca lembar terakhir buku hariannya itu. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa maksud tulisannya itu.
“Aji…Aji…bangun! Aji…”aku membangunkannya, namun dia tak kunjung bangun juga. Akupun membalik tubuhnya ke hadapanku.”Aji…”ku lihat darah mengalir di hidungnya, aku coba menyadarkannya namun dia tak kunjung bangun juga. Aku berteriak memanggil putra sulungku.
“Ada apa ma?Aji…Aji kenapa ma?Aji bangun Ji….Aji…”
“Ayo bawa dia ke Rumah Sakit, ayo Nak….!” Kamipun segera melarikannya ke Rumah Sakit. Aku berharap semuanya belum terlambat. Aku berharap tuhan memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku dan memperbaiki semuanya.
 “Maafkan saya mbak, saya sudah peringatkan Aji sebelumnya, kalau dia tetap nekat,sama saja dia bertukar posisi dengan mbak karena ginjal kanannya bermasalah,tapi dia tetap ngotot mendonorkan ginjal kirinya untuk menyelamatkan mbak.”jelas adikku yang selama ini jadi dokter pribadiku
“Lalu, sekarang?apa yang bisa kita lakukan”
 “Sudah terlambat, Mbak, kita terlambat,racun sudah menyebar di seluruh tubuhnya, dia sudah tidak bisa di selamatkan dengan jalan apapun, sebaiknya kalian temui dia, ikhlaskan dia pergi agar tidak semakin lama tersiksa.” Aku dan putrakupun masuk. Aku berbisik di telinganya, berharap alam bawa sadarnya berkenan membawa dia kembali sejenak.
“Aji..Aji…bangun sebentar saja, Nak…ayo panggil ibu mama, katanya kamu pingin panggil ibu, mama, ayo bangun, Nak..jangan bikin ibu menyesal karena nggak pernah penuhi permintaan kamu…ayo panggil ibu, mama…ayo Ji..”dia sama sekali tak meresponku”Aji..”
“Mama…”tiba-tiba ku dengar mulutnya lirih memanggilku dengan panggilan mama.
“Aji…maafin mama ya, Nak..”isakku
“Mama…mama…makasih…” detak jantungnyapun tak lagi terdeteksi. Dia  benar-benar pergi, tepat dini hari. Aku masih beruntung bisa memenuhi harapan terakhirnya, meski Cuma ini satu-satunya yang pernah aku berikan untuknya. Maafkan mama Ji….

No comments:

Post a Comment