PANGGIL
AKU MAMA
KUPU-KUPU KERTAS
By: Ebid GAD
Setiap waktu…
Engkau tersenyum
Sudut matamu,
Memancarkan rasa…
Keresahan yang terbenam,
Kerinduan yang tertahan
Luka dalam yang tersembunyi
Jauh di lubuk hati…
Kata-katamu…
Riuh mengalir bagai gerimis…
Kupu-kupu kertas..
Yang terbang kian kemari..
Aneka rupa dan warna
Di bias lampu temaram…
Ku lihat dia di tepi kolam. Jari jemarinya asyik berdansa
di atas dawai gitar yang di eja setiap kuncinya. Aku hafal betul suasana
hatinya setiap kali dia memilih untuk melantunkan senandung Ebiet itu. Dan aku
tau tiada yang lain selain aku yang bisa membuatnya sesedih ini.
Terkadang aku memang merasa sangat bersalah setiap kali
membuatnya seperti ini. Namun entah mengapa, rasa benciku tak pernah teredam
setiap kali aku melihat anak itu. Wajahnya selalu mengingatkanku akan insiden
21 tahun yang lalu. Meskipun bukan dia penyebabnya, namun dialah akibat yang
menyeruak menjadi momok dalam rumah tanggaku.
Hari ini aku memang benar-benar mempermalukannya di
kantor. Dia yang tadinya seorang direktur creative ku turunkan begitu saja
menjadi seorang office boy. Aku memang sengaja karena aku tak rela anak itu
mencampuri kerajaan bisnisku. Meskipun enam bulan terakhir, selama aku terpuruk
di ranjang rumah sakit, dia telah memberikan kontribusi yang besar untuk
perusahaanku lewat tender-tender besar yang berhasil ia menangkan. Aku tak
peduli, akulah pimpinannya, tentu secara mutlak hak veto berpihak di kedua
tanganku.
“Bu!”sapanya padaku
membuyarkan renunganku, aku sedikit malu karena tertangkap basah sedang
mengamatinya.”Baru pulang, Bu?perlu saya buatkan minuman hangat?”tawarnya
padaku
“Nggak usah!”jawabku
ketus
“Ya sudah, saya permisi
dulu, sugeng dalu..”ku lihat sikapnya masih sangat hangat, tak terlintas
sedikitpun raut marah di wajahnya.
**
“Mang Kas….berangkat
ya..”teriaknya ku dengar pagi-pagi, ku toleh dari jendela kamarku, benar memang
dia dengan seragam OB dan sepeda jengkinya. Sepagi ini dia sudah berangkat, “Lho
Den, kok nggak bawa mobil?mobilnya udah Mang siapin.”
“Mang..mang…nggak lihat
seragam baru saya…masak saya ke kantor bawa mobil…kan nggak lucu, Mang?”guraunya
“Hahahah…iya juga ya, Den..?”
“Lho? pagi-pagi kok
udah berangkat?”sapa putra sulungku, yang baru saja pulang jogging.”Nggak
bareng mas aja, hmm?”
“Nggak lah, Mas?Aji
naik sepeda aja, sekalian olahraga, duluan ya, Mas.”
“Dia selalu berangkat
sepagi ini?”tanyaku pada putra sulungku
“Yah.. anak yang rajin,
punya integritas dan passion yang tinggi, tapi mama justru terlalu mementingkan
ego dan terkesan subyektif.”tutur putraku dengan nada sedikit marah. Aku tau
betul dia sangat berpihak pada adiknya itu.
##
Akupun sampai di kantor. Ku lihat dia sedang membersihkan
kaca jendela kantor.
“Lho? pak Aji? turun
jadi OB sekarang?” tanya seorang dewan direksi
dia hanya tersenyum.”Pak
Aji… Pak Aji…sarjana luar negri kok mau-maunya di taruh di bagian OB, kan kinerja bapak saya lihat juga sangat baik”
ku dengarkan saja pembicaraan mereka.
“Nggakpapa Pak, saya
kemaren kan cuma menggantikan untuk sementara saja, lagipula sesuatu yang di
raih dari nol itukan lebih terasa perjuangannya daripada yang di raih secara
instant,”
“Saya salut sama pak
Aji, ya sudah, saya ke dalam dulu ya!”
“Ya, mari..” sebijaksana
itukah dia? tidak sedikitpun ku lihat urat malu yang menggeliat di wajahnya, dia
memang sangat tenang. Akupun bergerak mendekatinya. Tapi aku kembali berpikir, untuk
apa aku mendekatinya.
**
Jam makan siangpun tiba. Ku lihat dia masih asyik bekerja
membantu karyawan lain menyelesaikan tugasnya.
“Aji itu pimpinan yang
baik, dia tidak hanya sekedar memimpin, memerintah lalu menunggu laporan di
sodorkan untuk diteliti, tapi selama dia bekerja dulu, dia selalu turun
membimbing timnya menyelesaikan tugas, dia pekerja keras, telaten dan
tangguh.”tutur putraku yang bicara di belakangku”itu sebabnya dia sangat dihormati
oleh karyawan disini?bukankah dulu ayah juga seperti itu?”
“Jangan pernah samakan
dia dengan ayah kamu, dia bukan siapa-siapa ayah kamu, dia cuma anak haram, anak
pembunuh ayah kamu,”tegasku yang tak suka dia menyamakan anak itu dengan
almarhum suamiku.
“Mama benar, dia
mungkin anak haram bagi mama, tapi dia justru lahir dari rahim mama, dia
membawa darah saya begitupun juga dia membawa darah ayah.”akupun
menamparnya,entah kenapa akhir-akhir ini dia mulai sangat berani menentangku
dan bicara tidak hormat kepadaku. Semuapun memperhatikan kami, termasuk dia.
“Kamu sudah bikin mama
sakit hati.”
“Sakit? masih lebih
sakit hati saya setiap kali melihat mama menyakiti Aji, mama bukan ibu yang
baik, suatu hari nanti mama akan menyesal sudah memperlakukan Aji seperti
ini.”diapun meninggalkanku begitu saja.
“Sudah-sudah, ayo kita
kerja lagi.”dia mencoba mendisiplinkan karyawan yang sempat gaduh melihat
pertengkaranku dengan putraku tadi.”Ibu, tenang ya?”diapun mendekatiku dan coba
menenangkanku
“Seharusnya saya memang
melenyapkan kamu dari dulu, kamu dan bapak kamu sudah menghancurkan rumah
tangga saya.”ku lihat matanya mulai berkaca-kaca. Biarkan, aku memang sengaja.
**
Sepulang kerja ku habiskan waktuku di luar hingga larut
malam. Rasanya aku tak ingin pulang ke rumah karena suasana hatiku sangat
buruk, namun ku coba menguatkan diri. Akupun pulang sangat larut. Tak ku lihat
dia duduk di depan pintu rumah seperti
biasa. Sejak kecil dia selalu menunggu dan menyambutku datang selarut
apapun itu. Entah kenapa malam ini aku tak melihatnya di sana.
Rumah terasa
sangat sepi. Sepertinya semua sudah pergi tidur. Aku memang tak pernah pulang
selarut ini. Ku lihat pintu kamar Aji masih terbuka, akupun ke sana, entah
kenapa aku sangat tertarik untuk kesana. Ku tengok dia. Rupanya dia sudah
nyenyak. Baru sekali ini aku masuk ke kamarnya. Ku lihat lampu meja kerjanya
masih menyala dan ada sebuah buku harian di sana. Akupun mengambilnya dan
membawanya keluar dengan lancang.
Ku bawa buku itu
ke kamarku. Entah kenapa aku sangat penasaran dengan apa yang di tulisnya di
dalam buku itu. Ku buka perlahan, ku amati, sepertinya buku ini mulai di tulis
sejak dia masih bocah. Akupun mulai membaca.
“Hari
ini,aku dapat juara lagi,tapi sayang ibu nggak lihat aku waktu tadi aku lomba.
Mang Kas bilang ibu memang nggak mau lihat, tapi aku percaya sebenarnya ibu
bukan nggak mau lihat aku, tapi ibu memang sedang sibuk kerja.”
(*)
“Aku nggak percaya waktu temen-temen
ibu bilang kalau ibu nggak sayang sama aku. Kalau ibu nggak sayang sama aku, kenapa
ibu mau mengandungku selama 9 bulan?itukan berarti ibu sayang sama aku”
(*)
“Ibu
memang sering bentak-bentak aku, ngomong kasar ke aku, dan nyuruh ngerjain
apa-apa sendiri, itu bukan karena ibu nggak suka sama aku, tapi aku tau, ibu
pasti pingin aku jadi anak yang kuat dan mandiri.”
(*)
“Hari
ini mas Unggul ulang tahun dan ibu ngasih dia kado mainan yang baguuuusss
banget, semoga di hari ulang tahunku nanti, ibu juga ngasih kado yang sama
bagusnya kayak punya mas Unggul”
(*)
“Hari
ini aku ulang tahun,aku pingin banget ibu kasih aku kado seperti yang ibu kasih
sama mas Unggul, tapi waktu ibu pulang, ibu nggak bawa apa-apa buat aku, aku
nggak papa, mungkin saja ibu memang lagi nggak punya uang.”
(*)
“Akhirnya
aku lulus SMP, aku udah tambah gede nih.. bangku SMA sudah di depan mata, sayangnya
waktu wisuda tadi ibu nggak bisa datang katanya ibu lagi sakit, jadi yang
datang malah Mang Kas sama Bik Mar, sedih sih…saat temen-temen bisa foto-foto
sama papa mamanya aku justru bikin rekor foto sama supir ibuku.”
(*)
“Terkadang
aku bingung, mas Unggul boleh panggil ibu, mama…kenapa aku nggak boleh ya? andai
aku bisa panggil beliau mama biar sama-sama kayak mas Unggul”
Tak terasa
banyak sudah air mataku yang tumpah saat membaca buku harian ini. Aku tidak
pernah merasa seharu ini sebelumnya. Tiba-tiba saja sebuah bulpoint jatuh di
bawah kakiku. Ada sebuah lembaran yang kelihatannya baru saja di tulisnya. Ku
buka halaman itu.
“Besok
usiaku menginjak 22 tahun, tak terasa aku semakin dewasa, aku bersyukur banyak
sekali pencapaian yang berhasil aku raih, namun di sisi lain, aku juga harus
menerima kenyataan bahwa hal yang selama ini aku tepis kenyataannya memang
benar adanya, setelah ku baca kembali buku harian ini dari awal, akhirnya aku
sadar…ibu, memang tak pernah menyayangiku selayaknya putra yang lahir dari
rahimnya. Ibu membenciku, di matanya aku hanya anak haram dari pembunuh
almarhum suaminya. Aku merasa sangat bersalah setiap kali melihat wajah ibu.
Maka untuk menebus semuanya aku rela menukar apapun untuk kebahagiaannya, termasuk
memberikan nyawaku untuk di tukar dengan nyawa keduanya. Semoga apa yang sudah
aku korbankan bisa menebus kebahagiaannya yang pernah aku renggut dengan
kehadiranku di dunia ini. Saat ini rasanya nafasku tinggal sisa-sisa terakhir.
Aku tidak lagi kuat menunggu dan menyambutnya pulang seperti biasa karena
tubuhku sudah mulai ringkih. Aku hanya bisa berharap aku masih bisa melewati
malam ini agar aku bisa menjemput 22 tahunku dengan melihat senyumnya esok
hari. Saat ini aku tak lagi menginginkan apapun darinya tuhan, boleh
memanggilnya dengan panggilan mama..itu saja cukup mengantarkan aku tidur
tenang…sungguh aku ingin memanggilnya mama….mama…”
Spontan saja aku langsung menuju kamarnya begitu aku
selesai membaca lembar terakhir buku hariannya itu. Apa yang sebenarnya
terjadi. Apa maksud tulisannya itu.
“Aji…Aji…bangun!
Aji…”aku membangunkannya, namun dia tak kunjung bangun juga. Akupun membalik
tubuhnya ke hadapanku.”Aji…”ku lihat darah mengalir di hidungnya, aku coba
menyadarkannya namun dia tak kunjung bangun juga. Aku berteriak memanggil putra
sulungku.
“Ada apa ma?Aji…Aji
kenapa ma?Aji bangun Ji….Aji…”
“Ayo bawa dia ke Rumah
Sakit, ayo Nak….!” Kamipun segera melarikannya ke Rumah Sakit. Aku berharap
semuanya belum terlambat. Aku berharap tuhan memberiku kesempatan untuk menebus
kesalahanku dan memperbaiki semuanya.
“Maafkan saya mbak, saya sudah peringatkan Aji
sebelumnya, kalau dia tetap nekat,sama saja dia bertukar posisi dengan mbak
karena ginjal kanannya bermasalah,tapi dia tetap ngotot mendonorkan ginjal
kirinya untuk menyelamatkan mbak.”jelas adikku yang selama ini jadi dokter
pribadiku
“Lalu, sekarang?apa
yang bisa kita lakukan”
“Sudah terlambat, Mbak, kita terlambat,racun
sudah menyebar di seluruh tubuhnya, dia sudah tidak bisa di selamatkan dengan
jalan apapun, sebaiknya kalian temui dia, ikhlaskan dia pergi agar tidak
semakin lama tersiksa.” Aku dan putrakupun masuk. Aku berbisik di telinganya, berharap
alam bawa sadarnya berkenan membawa dia kembali sejenak.
“Aji..Aji…bangun
sebentar saja, Nak…ayo panggil ibu mama, katanya kamu pingin panggil ibu, mama,
ayo bangun, Nak..jangan bikin ibu menyesal karena nggak pernah penuhi
permintaan kamu…ayo panggil ibu, mama…ayo Ji..”dia sama sekali tak
meresponku”Aji..”
“Mama…”tiba-tiba ku
dengar mulutnya lirih memanggilku dengan panggilan mama.
“Aji…maafin mama ya, Nak..”isakku
“Mama…mama…makasih…” detak
jantungnyapun tak lagi terdeteksi. Dia benar-benar pergi, tepat dini hari. Aku masih beruntung
bisa memenuhi harapan terakhirnya, meski Cuma ini satu-satunya yang pernah aku
berikan untuknya. Maafkan mama Ji….
No comments:
Post a Comment