PESAN BISU UNTUK GURU BAHASA INDONESIAKU
Aku duduk
menyepi seusai makan sahur pagi ini. Ku putar sebuah track favoritku New Eta , “dalam
pekatnya”. Track itu selalu menjadi satu-satunya track yang selalu ku putar
tiap kali ku gundah gulana karena terbesit tentangnya. Seseorang yang pernah
menjadi bagian dari masa laluku, bukan yang special tapi justru membekas dalam
hatiku sangat dalam. Beberapa malam belakangan ini, entah mengapa dengan
asyiknya dia menjamah setiap sin dalam mimpiku. Entah mengapa karena aku rindu
padanya atau ada kesan- pesan yang belum tuntas terungkap.
Ku tatapi
hamparan langit dini hari yang masih gelap. Bahkan purnama pun masih jelas
menampakkan dirinya tanpa malu-malu, meski tanpa satupun bintang yang
mengawalnya. Mungkin jika ia hidup maka akan ia ungkapkan betapa ia merasa
kesepian, sama sepertiku yang tengah duduk sendiri di kaki langit ini. Dan di
tengah aku sedang bercengkrama dengan rembulan itu, sepotong wajahnyapun
terbayang samar-samar di inti jari-jarinya. Aku tau bukan rembulan yang membawa
bayang-bayang itu muncul namun ilusiku sendiri yang tengah tersugesti oleh
semua kenangan tentangnya.
Begitupun
angin yang mendesir dingin di sekitar kepalaku. Masuk dengan sinisnya ke dalam
telingaku membawa suaranya hingga terngiang-ngiang. Dialog dinginnya yang tak
pernah hangat padaku dulunya. Dia begitu angkuh padaku, bahkan sampai hari ini.
Mungkin jika dia sehangat yang lain, aku tak perlu penasaran kepadanya seperti
ini, dan membuatku tak berhenti berfikir
hingga otakkupun penuh dengannya dan
pada akhirnya justru hatikulah yang menjadi pelariannya.
Dia memang
pernah bilang, jika dia tak menyukai bocah perempuan, entah apa alasannya.
Namun itulah sebabnya dia begitu acuh kepadaku. Apakah itu sebuah hal yang bisa
dibenarkan, sementara mungkin saja nantinya dia justru dikarunia tuhan seorang
bocah perempuan sebagai putrinya, akankah dia tetap acuh? Bahkan dalam ajaran
hindu memiliki seorang putri merupakan anugrah besar yang diberikan oleh sang
hyang widi, jagad dewa batara. Lalu benarkah bocah perempuan yang dia maksud
itu sebenarnya diperuntukkan hanya bagiku? Hanya saja dia sungkan untuk jujur, maka
diapun mempermainkan nalarku dalam bahasa yang begitu kontekstual.
Andai aku
bisa menegurnya saat ini, namun aku masih berfikir dua kali untuk itu. Aku tak
mungkin gegabah karena aku pasti tidak akan punya nyali untuk datang ke
rumahnya esok lebaran jika saat ini juga ku buka semua uneg-unegku ini. Kearroganant
itu adalah haknya, bagaimanapun dia bukan teman sepermainanku yang bisa dengan
gampangnya ku panggil mas bro dan ku jatz seenak mulutku. Ada gape yang agung
di antara kami meski dalam diri kami masih sama-sama mengalir darah muda. Yah,
sebuah batas moral yang agung yang mau
tak mau memaksaku untuk menghormatinya layaknya ku hormati bapak dan ibuku.
Karena dia…. Dialah guru bahasa indonesiaku semasa SMA dulu.
No comments:
Post a Comment