Wednesday 22 April 2015

KOLEKSI CERPEN


PESAN BISU UNTUK GURU BAHASA INDONESIAKU
Aku duduk menyepi seusai makan sahur pagi ini. Ku putar sebuah track favoritku New Eta , “dalam pekatnya”. Track itu selalu menjadi satu-satunya track yang selalu ku putar tiap kali ku gundah gulana karena terbesit tentangnya. Seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa laluku, bukan yang special tapi justru membekas dalam hatiku sangat dalam. Beberapa malam belakangan ini, entah mengapa dengan asyiknya dia menjamah setiap sin dalam mimpiku. Entah mengapa karena aku rindu padanya atau ada kesan- pesan yang belum tuntas terungkap.
Ku tatapi hamparan langit dini hari yang masih gelap. Bahkan purnama pun masih jelas menampakkan dirinya tanpa malu-malu, meski tanpa satupun bintang yang mengawalnya. Mungkin jika ia hidup maka akan ia ungkapkan betapa ia merasa kesepian, sama sepertiku yang tengah duduk sendiri di kaki langit ini. Dan di tengah aku sedang bercengkrama dengan rembulan itu, sepotong wajahnyapun terbayang samar-samar di inti jari-jarinya. Aku tau bukan rembulan yang membawa bayang-bayang itu muncul namun ilusiku sendiri yang tengah tersugesti oleh semua kenangan tentangnya.
Begitupun angin yang mendesir dingin di sekitar kepalaku. Masuk dengan sinisnya ke dalam telingaku membawa suaranya hingga terngiang-ngiang. Dialog dinginnya yang tak pernah hangat padaku dulunya. Dia begitu angkuh padaku, bahkan sampai hari ini. Mungkin jika dia sehangat yang lain, aku tak perlu penasaran kepadanya seperti ini, dan  membuatku tak berhenti berfikir hingga otakkupun  penuh dengannya dan pada akhirnya justru hatikulah yang menjadi pelariannya.
Dia memang pernah bilang, jika dia tak menyukai bocah perempuan, entah apa alasannya. Namun itulah sebabnya dia begitu acuh kepadaku. Apakah itu sebuah hal yang bisa dibenarkan, sementara mungkin saja nantinya dia justru dikarunia tuhan seorang bocah perempuan sebagai putrinya, akankah dia tetap acuh? Bahkan dalam ajaran hindu memiliki seorang putri merupakan anugrah besar yang diberikan oleh sang hyang widi, jagad dewa batara. Lalu benarkah bocah perempuan yang dia maksud itu sebenarnya diperuntukkan hanya bagiku? Hanya saja dia sungkan untuk jujur, maka diapun mempermainkan nalarku dalam bahasa yang begitu kontekstual.
Andai aku bisa menegurnya saat ini, namun aku masih berfikir dua kali untuk itu. Aku tak mungkin gegabah karena aku pasti tidak akan punya nyali untuk datang ke rumahnya esok lebaran jika saat ini juga ku buka semua uneg-unegku ini. Kearroganant itu adalah haknya, bagaimanapun dia bukan teman sepermainanku yang bisa dengan gampangnya ku panggil mas bro dan ku jatz seenak mulutku. Ada gape yang agung di antara kami meski dalam diri kami masih sama-sama mengalir darah muda. Yah, sebuah batas moral yang agung  yang mau tak mau memaksaku untuk menghormatinya layaknya ku hormati bapak dan ibuku. Karena dia…. Dialah guru bahasa indonesiaku  semasa SMA dulu.

No comments:

Post a Comment