Thursday 27 November 2014

PESISIR

PESISIR

Gebyar fajar di pesisir selatan
Dermaga tua jadi tumpuan
Gemanya ku dengar
Byurrr…ombak nakal menampar karang
Biduk peot nelayan ikut di guncang
Bergoyang senggol di tambatan

Desis angin gusar
Riuh lantunkan irama alam
Wush..wush..bunyinya berssahutan

Kabut pekat modarrr..
Matahari merambah mercusuar
Berpijar penuh pendar
Kilat pasir tepian
Bunarr ..

Camar-camar melesat tajam
Berrr …terbang menyambar pakan
Anak-anak ikan kualahan
Berlarian
Akar bakau jadi tameng persembunyian
Mereka jadi buronan..

Harmonis
Estetis
Ellegant..
Penuh keselarasan
Keasliannya tak ku temui di megapolitan

Hening, dan tak banyak polutan

Wednesday 26 November 2014

DENTANG LONCENG SEPULUH

DENTANG LONCENG SEPULUH
Dalam,ku terfokus padamu
Berkaca-kaca mataku
Hampir pecah,meluruh..
Kau tampak seperti bayi yang lugu..
Lelap,di balut dentang lonceng sepuluh
Menggerutu…memperolok lelahmu..
Bu..

Hangat aku membelaimu
Dengan jemarih lusuhku
Merapuh batinku,
Membiru…haru…
Peluh-peluh kerja kerasmu
Dedikasimu..
Menghidupiku,
Bu…

Ku golekkan tubuh di sampingmu
Merolling setiap waktu..
Yang terlewat bersamamu,
Untuk desah nafasku
Demi debit darahku
Adrenalinmu berpacu..
Menjantan
Melawan mereka yang jantan..
Bu...

Kalut ku merengkuhmu,
Dalam kesepian malammu
Yang kau cintai telah jauh..
Cukup aku..
Mendekapmu teduh,
Seteduh kala aku berteduh
Di bawa sayap-sayap jibrilmu,
Bu..

Bu..
Bocah kecil motivasimu..
Runtut dalam langkahmu…



Tuesday 25 November 2014

MENCAIR

MENCAIR

ajari aku mencair,
agar tak ku rengkuh sendiri kebekuanku
yang dingin,
mengeraskan caraku berpikir

ajari aku mencair
biar semua yang mengendap mengalir
hinggah keruh terperanjat dan menyingkir dari bayang-bayang jernih
aku ingin melihat diriku bahagia
seperti aku melihat dirimu bahagia

ajari aku mencair
biar semua yang beku memuai
lewat desir angin panas yang lalu lalang
aku ingin sedikit hangat
sebelum kemudian mendidih
lalu menguap
dan jatuh meluruh sebagai embun

ajari aku mencair
sebelum aku terkejut
karena tiba-tiba aku meleleh




Top of Form


Monday 24 November 2014

OELIL

OELIL
Dalam satu ruang hampa
Ku terjaga tiba-tiba
Kosong.. sarat akan gaung dan gema
Suaraku..
Cuma suara sumbangku yang menggema
Dalam ..berulang kali,
Hngga beresonansi
Lirih..sedih..ku tangisi,
Dimana imajiku berhenti?
Tempat apa ini?

Ku telusuri,
Tiap setapak yang ku pilih
Ku arungi
Namun tetap membawaku kembali
Tetap di sini
Di satu negri yang tak ku kenali
Sepi.. sunyi..ku bersedih,
Kemana lagi inspirasiku berlari?
Sukmaku terperangkap di sini

Dan ku terdiam merenungi keadaan
Ku replay vity kenangan
Berbagai sin kebersamaan
Tawa,tangis dan petualangan riskan
Aku dan kau di masa silam
Menyadarkan
Bahwa aku tengah kesepian

Ku nanti kau datang menerjang
Gerbong ruang yang panjang
Detik-detik rawan yang membentang
Dan hari-hari sibuk yang halang merintang
Untuk sekedar selamatkan
Pulau rinduku yang hampir tenggelam

Karena banjir ketidakpastian yang menerjang

Sunday 23 November 2014

KERTAS-KERTAS BISU

KERTAS-KERTAS BISU

Lewat  kertas-kertas bisu
Ku bagi semua keluh kesahku
Rasa kecewaku
Pesakitanku..
Karenamu

Cukup kertas-kertas bisu
Memahami nuraniku
Batinku..
Bagaimana aku di sakiti olehmu
Namun termaafkan selalu

Lewat kertas-kertas bisu
Pelampiasanku..
Bukan kokain
Bukan pula morphin
Yang mencanduku..

Cukup kertas-kertas bisu
Teman berbagiku
Yang menyimpan rahasiaku
Tentangmu…
Dia tak kan pernah berbagi
Kecuali denganku..

Cukup kertas-kertas bisu
Benteng pertahananku
Tak jenuh mengikis keputusasaanku
Oleh sifatmu….

Lewat kertas-kertas bisu
Pelarianku
Bukan bir..
Bukan pula brandy…
Yang memabukkanku

Cukup kertas-kertas bisu
Yang dungu
Yang tak kan menjatuhkanmu
Karena cukup aku dan kertas-kertas bisu itu
Yang tau

Bagaimana kau membunuhku…

BIARKAN AKU MERAJUK

BIARKAN AKU MERAJUK

Biarkan tumpah ruah
Rajukanku..
Agar tak tertahan di kantung mata
Menggunda,
Berkaca-kaca,
Namun tak juga pecah

Biarkan tumpah ruah
Rajukanku…
Agar tak sesak di dada
Meluap-luap,
Mendidih…
Dibawa darah ke kepala
Penat….

Biarkan tumpah ruah
Rajukanku…
Agar tak mengendap
Menumpuk hingga padat,
Merusak hati kecil

Aku ingin merajuk,
Di kakimu…
Meski tak basah…

Setetes saja……

DIMANA WAJAH TUHAN?

DIMANA WAJAH TUHAN?

Ku mencari raut wajahmu
Di wajah awan-awan yang merah
Memalu saat senja

Ku meraba mimik mukamu
Di wajah awan-awan yang hitam
Terpejam saat malam

Ku membelai urat wajahmu
Diwajah awan-awan legundi
Tersenyum saat fajar

Ku tak dapatinya menyeruak,
Seperti jejak-jejak…

Kau tak berbekas
Seperti air-air langit yang meresap saat kemarau

Kau tak nyata
Namun tak ambigu,
Kau abstrak
Namun kau memang ada,
Di setiap hati kecil
Di setiap nalar

Di setiap langkah-langkahku yang nakal
Kau kenal dalam ingkar
Begitupun dalam sujudku yang basah
Kau ku sembah dalam pengabdian…
Tuhan…..


Thursday 20 November 2014

LAJUR NESTAPA

Titik-titik gemebyar...
masih samar,
masih jauh di seberang,
masih ku tuju
meski jauh...

jalan-jalan terjal
bebatuan
semak belukar
sehari-hari menghadang,
menggores tangan
menyobek telapak kaki
melukis jejak-jejak berdarah
air mata

liku-liku panjang
menantang...
sepanjang perjalanan
liar,
membuatku binal...
jalang...
memahat ego...
emosi..

lorong-lorong hitam
mencekam
aku berjalan sendirian
menunduk
mengejek jari-jariku
yang rusuh,
berdebu..

Tuesday 18 November 2014

DALAM SEBUAH ASA 2

Aku meringkuk diatas ranjangku. Imanku kembali menciut diguncang penalaran nakalku yang terus berkecamuk. Beradu opini dengan pemkiran positifku yang lemah karena tak pernah ku perkuat lewat semangat hidup.
          Ku pejamkan mataku. Ku rentangkan lenganku dan ku luruskan kedua kakiku. Pelan-pelan ku refresh otakku agar akalku memperoleh ruang gerak yang sedikit bebas. Aku tak ingin memikirkan apapun. Kubuang semua kejadian yang terlihat. Ku redam suara-suara bising bersahutan yang terekam. Ku tangkap sunyi, hanya ku dengar suara hati kecilku yang berpetuah. Inilah kebiasaan seorang introvert sepertiku ini.
          Dan hati kecilkupun berkata…..
“Tenanglah……tenanglah Re…..,
Hadapi saja…….tuhan hanya berniat untuk menjadikanmu dewasa,
Selama kamu tetap berjalan dalam jalurnya, maka semua ini hanyalah sebuah ujian yang harus kamu selesaikan, dan bukanlah sebuah hukuman.
Lihatlah…….
Tuhan bahkan bisa sangat baik bukan? Pada orang-orang yang mengabaikannya begitu saja?kenapa tidak pada orang-orang yang dengan setia menyembahnya?
Percayalah…
Dia pasti menunjukkan setiap jalan dengan caranya yang istimewa.
Tidak satupun manusia di dunia ini yang bebas dari cobaan dan ujian.
Layaknya sebuah permainan bukan? Kamu hanya perlu menyelesaikan setiap tugas dan tantangan agar bisa naik ke level berikutnya. Begitupun setiap level permainan itu, tentu semakin tinggi levelnya pasti tugas dan tantangan yang dihadapkanpun akan semakin rumit. Namun saat kamu berhasil menyelesaikannya hingga level terakhir, kamu pasti akan merasa puas.
Jangan menyerah hari ini Re….
Karena saat kamu menyerah hari ini, kamu tidak akan pernah menjemput hari esok, kamu tidak pernah tau berapa langkah lagi kamu akan sampai pada tujuanmu. Bisa saja saat kamu berhenti, justru tujuan itu sudah tinggal selangkah lagi.
Cobalah setulus mungkin….
Janganlah pernah kamu beribadah hanya untuk diberi pahala atau rezeki yang melimpah tapi, beribadahlah karena kamu menghendaki keridhoannya. Pemberian yang diberikan dengan ikhlas akan lebih berarti dibandingkan dengan pemberian yang diberikan karena terpaksa.
Maka bersyukurlah…
Atas setiap nikmat maupun cobaan yang diberikannya, karena saat itulah kamu kan merasakan betapa nikmatnya hidup menjadi orang yang ikhlas dan dengan hal itu, kamu tidak akan merasakan sebuah beban.
          Akupun kembali terjaga. Ku hela nafas besar, sambil ku tatap focus plafon kamarku. Haaaahh…yah, mungkin inilah yang namanya jatuh bangun. Aku hanya perlu belajar ikhlas, agar bisa selalu bangkit dari setiap kegagalan.
          Mungkin saat ini aku tengah terjatuh, namun semua belum berakhir. Tak seorangpun tau apa yang akan terjadi ke depan. Yang perlu aku ingat hanyalah, aku tidak boleh mengalir begitu saja, karena apapun yang mengalir selalu akan jatuh kebawah. Mungkin yang tepat bagiku saat ini adalah sebuah pepatah “berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian.
          Terpikir sebuah teori Mahatma Gandi yang telah disampaikan oleh salah satu dosenku dalam mata kuliahnya tempo hari, “ berpikirlah positif, karena dengan berpikir positif maka ucapan kitapun akan menjadi positif, ucapan yang positif akan membawa perilku yang positif dan perilaku yang positif akan menjadi kebiasaan yang positif.” Yah, memang berpikir positif adalah obat yang paling mujarab yang ku butuhkan untuk mengobati gejala frustasiku saat ini.


Prastika Prabu Sasmitro “86”
4-10-2014

11.11 WIB

Monday 17 November 2014

GERIMIS NOVEMBER

            Terik mentari akhirnya mulai membeku seiring dengan mendung yang menggantung di langit  tengah hari yang kian redup. Desir angin yang berhembus mesra, menggelayut menggandeng jemariku yang sudah beberapa tahun ini kesepian. Semilirnya menambah senyap hawa tanah merah yang memuai dalam persemayaman para penghuni pusara.
            Aku berjalan membawa seikat mawar segar dan sebotol air yang telah ku campur misik. Cuma aku sendiri yang terlihat berjalan di setapak pemakaman yang terasa semakin mistis  karena hadirnya kabut yang tiba-tiba timbul. Sebuah aktifitas yang selalu ku lakukan setiap November datang.
            Ku hentikan langkahku tempat disamping pusara yang ku tuju. Pusara yang sudah sedikit usang dan masih ditumbuhi rumput bekas kemarau yang menguning kering namun bertunas segar karena diguyur hujan pemula beberapa hari lalu. Sepertinya memang hanya aku yang menjama pusaranya. Ku letakkan mawar yang ku bawa diatas kepalanya kemudian kuguyurkan air siraman yang ku genggam botolnya. Semerbaknya membawaku pada harum tubuhnya ketika masih mendampingiku dulu.
            Akupun duduk menyebelahi pusaranya. Ku lepas kacamataku, pelupuk mataku mulai basah ketika sebesit bayangnya mencumbu memoriku tentangnya yang mulai lemah seiring dengan rentang waktu dan jarak yang kian melangkah jauh menelannya. Memisahkanku darinya yang semakin tenang dalam rengkuhan-Nya.
Terkadang aku sendiri berpikir, betapa berdosanya aku setiap kali datang ke pusaranya. Aku selalu bisa menyempatkan waktu untuk datang ke pusaranya, namun tak sekalipun ku injakkan kakiku di pusara ayah kandungku sendiri. Dan seperti itulah kenyataannya. Dia dan ayahku bagaikan sebuah garis yang saling bertolak belakang. Saat ayahku hanya memberikanku hitam, dia justru memberikan warna-warna hidup yang cerah, sehingga dapat ku lihat keindahan dalam kelam.
Dia adalah pria pertama yang pernah membuatku jatuh. Seseorang yang membuatku berarti ditengah-tengah kehancuranku. Kakak tempatku bernaung, yang selalu siap membagi bahunya setiap kaliku datang dalam rapuh. Hanya dia yang selalu menanamkan wejangan-wejangan yang selalu membuatku tenang setiap kali ku mulai menyerah dan lelah. Ikhlas, tulus dan neriman adalah tiga kunci pokok yang selalu dia ajarkan padaku, sehingga aku mulai menghapus prasangka-prasangka negatifku akan takdir.
Satu pesan terakhir yang sempat dia ucapkan sebelum tuhan merebutnya dariku. Satu pesan yang selalu ku ingat…
” Nduk…tuhan tidak pernah menentukan baik buruknya takdir seseorang, baik dan buruknya takdir yang kamu terima adalah tergantung pada bagaimana kamu menerimanya dan menempatkan dirimu di mata tuhan,  cobaan dan ujian yang dia berikan hanyalah sebuah konflik yang akan membuat alur ceritamu menarik, maka hadapi saja dan jangan sekalipun mengeluh, ingat Nduk,… hujan tetap akan jatuh selagi air laut tetap menguap.”
            Semua tau, ajine tresno jalaran soko kulino. Jarak dan waktu memang bagaikan dua sisi mata pisau, satu sisi dapat menyatukan dua insan, namun disisi lainnya juga yang akhirnya memisahkan mereka. Sadar tak sadar, sudah merupakan hukum alam bahwa cinta yang paling sejati hanyalah cinta tuhan pada hambanya dan hamba pada tuhannya. Sebesar apapun kita mencintai seseorang, tetap tuhan yang paling berhak memilikinya. Mungkin suatu hari aku bisa menghapusnya dari hatiku, namun tidak dari masa laluku.

Prastika prabu S “86”
12-11-013


DALAM SEBUAH ASA 1

Ku bawa secangkir kopiku keluar rumah dan duduk menyepi didepan buk depan terasku. Kompleks perumahanku sudah begitu sepi, cuma terlihat kucing-kucing peliharaanku yang sedang asyik kejar-kejaran dengan kucing tetanggaku yang dibiarkan tidur diluar kandang, begitupun tikus-tikus belang asyik bekerja menggali sampah di lahan kosong yang jadi tempat pembuangan sampah warga. Ku rogohi kempol celana pendekku untuk memungut handphoneku yang ada di dalamnya. Ku pilih sebuah track sendu yang asyik diputar dalam suasana hatiku yang gelisah ini, Ebiet G.A.D, “titip rindu buat ayah.”
            Apa lagi yang cocok disandingkan dengan secangkir kopi item selain sebatang rokok. Pas sekali, memang tinggal sebatang dibungkusnya. Aku belum sempat beli lagi, beras saja ku beli perkilo. Tak mungkin rasanya jika ku jajankan uangku untuk sebungkus rokok meskipun itu hanya sebungkus Djarum Super. Disaat-saat kritis seperti ini sayang rasanya membuang-buang uang untuk kepuasan pribadi. Akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk kepuasan bersama bukan?.  Ku sulut ujungnya hingga merah lalu ku hirup dalam-dalam dan ku buang sisa asapnya.
“Ayah………a….a..a….
Dalam hening se..pi ku rin..duuuu…
Untuuuu…kk…. Menuai padi milik kitaaaa…
Namunn kerinduan tinggal ha..nyaa… kerinduan..
Anakmu seekarang banyak me..nanggung beban…”
            Ku nyanyikan sepenggal reffrendnya, hanya dibagian itu saja yang ku suka dan begitu ingin ku teriakkan hingga dia yang telah tenang di alam barzah itu terusik. Haha.. tapi yang benar saja, itu Cuma sebuah hil yang mustahal.
Hmmm… lihat rumah baruku sekarang ini, sudah begitu hangatnya dari terpaan angin jalanan, temboknya rapat, atapnya dicor, jendelanya di jeruji dan gerbangnya tinggi. Hangat bukan? Namun justru aku masih merasa dingin, bahkan sebagian sudut dari batinkupun mulai membeku. Ini rumah, anak kecilpun mengatakan demikian, ya memang ini rumah. Tapi, yakinkan aku, inikah yang bisa ku sebut sebagai rumah? Rumah seperti inikah yang aku inginkan?
Bukannya aku tak bersyukur mamaku menghadiahkan rumah ini sebagai milikku, tapi bukan rumah seperti ini yang ku inginkan. Rumah dimana aku masih merasa kedinginan, rumah dimana aku masih merasa kesepian. Tapi aku sadar, sekeras apapun aku menginginkannya, aku tetap tidak akan pernah memilikinya. Inilah sebuah asa yang harus ku kubur dalam-dalam karena tidak akan pernah bisa ku realisasikan. Mamaku tidak pernah mau memberikan rumah yang seperti itu untukku.
Rumah itu adalah ayah. Ayah yang selalu ku idam-idamkan. Ayah yang teman-temanku miliki. Ayah yang bisa menjadi pondasi yang kokoh dari kerapuhan dan keputusasaan.  Ayah yang bisa menjadi peneduh dari hujan dan kemarau hidup. Ayah yang bisa menjadi dinding yang melindungi dari binatang-binatang jalang. Ayah yang tangguh, yang selalu menjaga kehormatan putrinya. Membalutkan sutra disekujur tubuh putrinya. Memakaikan mutiara sebagai hiasan rambut putrinya dan memasangkan emas sebagai perhiasan putrinya.
Sayang, ayahku bukan ayah yang seperti itu. Meskipun dia hidup, dia tidak akan pernah menjadi rumahku, namun dia justru bisa menjadi rumah bagi anak-anaknya dari ibu-ibu lain. Sementara aku? Batinku lumpuh tertimpa puing-puing rumahnya yang hancur dan ia tinggalkan sejak perpisahan itu. Perpisahan yang sampai saat ini menjadi sepenggal kalimat yang abadi terukir dalam setiap lembar diary depresiku.
Namun lihatlah aku, sudah ku bersihkan puing-puing itu. Ku bangun rumahku sendiri. Menjadi suami bagi mamaku dan menjadi ayah bagi jiwaku sendiri yang rapuh. Ku tempa diriku, mencoba sekuat baja meski kenyataannya bajapun tetap bisa meleleh pada suhu tertentu. Apa boleh buat, kita tidak bisa meminta tuhan kepada, dari, dan untuk siapa kita diciptakan. Inilah hidup, cukuplah menjadi anak yang patuh dan ikuti saja proses pertumbuhan dan perkembangan kita, sekalipun kadang sebuah buah dipaksa ranum sebelum waktunya, sekalipun buah itu mengeluh tak memungkiri bahwa ia pasti akan ranum dan membusuk pada akhirnya.
Dan dalam sisa seteguk kopiku yang mulai dingin ditiup angin 12 malam, terlintas sebuah inspirasi yang membuatku menciptakan sebuah puisi yang ku ketik di konsep pesan telpon selularku.
SEBUAH ASAKU UNTUK AYAH
Andai bisa ku duduk,
Di pangkuhanmu…
Saat ayah anak-anak lain
Berandai-andai tentang anak-anaknya…
Memimpikan mereka berhasil dalam hidupnya,
                                    Andai bisa ku merajuk,
                                    Dalam rengkuhanmu….
                                    Saat anak ayah-ayah lain,
                                    Meludahiku…
Berbuat nakal kepadaku,
Membuatku basah karena air mataku
Andai bisa ku peras keringatmu,
Dari kemeja-kemeja kerjamu
Dan pori-pori kulitmu,
Akan ku buat memasak sepiring nasi
Dan ku minum seteguk…
                                    Namun aku hanya berandai-andai
                                    Berkhayal manja tentangmu…
                                    Nyatanya, aku hanya duduk menyepi….
                                    Bermimpi tentang keberhasilanku sendiri,
                                    Merajuk sendiri dalam sunyi..
                                    Dan ku peras keringatku sendiri
                                    Untuk melepas haus…. Untuk memuaskan lapar…
Sementara kau….
                                    Kau hanya sebatas asa
                                    Ayah…..

“Prastika prabu 86” dalam semilir angin malam menuju pagi….

19 Oktober 2014, 00:05

Sunday 16 November 2014

DALAM SEBUAH ASA

Malam telah mencapai puncaknya, tak satupun suara manusia terbawa angin terdengar di telingaku. Pekat  malam dan dingin romannya rupanya tengah membekukan mata dan menyelimuti tubuh mereka. Sepertinya hanya  aku satu-satunya manusia yang terjaga sendiri di malam yang senyap ini, dirumah baruku yang hening, namun tenang dari mulut burung-burung neraka itu.
Ku buka jendela kamarku. Semilir angin langsung membelai halus wajahku, begitupun pendar rembulan yang cantik mencumbuku. Ku panjat jendelaku itu dan duduk di kusennya. Hmmm…bunyi nafas besarku. Malam ini seperti malam sebelumnya, aku belum pernah bisa tidur tenang seperti yang lainnya.
Ku sulut ujung batang wismilakku, satu-satunya teman setiaku setiap malam meski sedikit matrealistis. Ku hirupnya dalam-dalam, ku rasakan nikmatnya, baru ku buang asapnya bersamaan dengan nafas besar. Dadaku sangat sesak, bukan karena asap rokok, namun karena sebuah beban yang serasa mengendap di batinku hingga penuh.
Entahlah mengapa ada banyak hal yang terpikirkan selalu dalam benakku ini. Entah itu bagaimana aku makan esok hari, bagaimana aku bayar tagihan listrik bulan ini  dan bagaimana aku bayar uang kuliah semester ini. Sementara itu melihat teman-teman sebayaku yang lain, sepertinya terlihat sangat ringan menikmati masa-masa remaja mereka, sedangkan aku justru berpikir layaknya seusia orang tua mereka. Aku bahkan tak sempat memikirkan kebahagiaanku sendiri.
Kadang aku berpikir aku tidak lebih beruntung dibandingkan mereka, namun akupun sadar masih ada yang jauh kurang beruntung dibandingkan denganku, hal inilah yang selalu membuatku memupus sendiri prasangka burukku tentang hidup. Yang ku sadari, hidup ini tak memberikan kita pilihan melainkan kesempatan untuk kita menentukan dengan cara seperti apa kita menikmatinya. Menikmati, yah menikmati adalah sebuah diksi yang lebih ku pilih dibandingkan menjalani. Bukan apa-apa, aku hanya ingin menanamkan sebuah sugesti yang dapat membangun efek lebih santai dibandingkan jika ku gunakan kata menjalani yang terkesan lebih menunjukkan bahwa hidup ini adalah sebuah beban.
Begitupunku  selalu menikmati siklus hidup yang ku alami, termasuk pula saat ini, saat dimana aku benar-benar jatuh. Kehilangan mata pencaharian, difitnah orang, hampir putus kuliah, diremehkan mantan camer sampai penyakit kronis yang tiba-tiba menyerang, semua datang bersamaan menyerbu kesabaranku yang hanya  beberapa  byte ini. Berat, aku bohong jika ku bilang aku tak terbebani, namun aku selalu berusaha menikmatinya karena aku berusaha untuk tidak mengeluh. Saat ini aku Cuma ingin menjalaninya pelan-pelan dan menyelesaikannya satu persatu dengan tetap memegang teguh keyakinanku pada tuhan meski sering kali aku nambeng dan dengan sadar melakukan larangannya. Mengutip puisi karya Chairil Anwar yang sangat ku idolakan.
Doa..
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
cahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku…
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku..
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku..
Di pintumu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling..
Seperti isi puisi itulah ku parafrasekan kehidupanku. Aku memang bukan orang yang khusuk seperti mereka yang rajin sholat, rajin puasa, maupun sedekah. Aku bukan wanita yang pandai menjaga aurat namun aku jamin aku pandai menjaga harkat dan martabat. Aku bukan orang yang baik, dan aku memang tak ingin menjadi orang yang baik, namun aku jamin aku bukan orang yang munafik. Intinya, walaupun aku ndablek, aku tetap punya keyakinan bahwa Dia menciptakanku tidak untuk Dia tinggalkan dan senakal apapun aku, aku tidak akan pernah mengingkari keberadaannya.
          Ku pandangi batang rokokku yang hampir habis. Apa sebenarnya yang aku cari? aku bahkan tak dapat memprediksi apa yang akan terjadi esok, akankah langit tetap biru atau justru berubah menjadi hitam. Setidaknya aku yakin, segelap apapun mendung dan selebat apapun hujan, setelahnya pasti ada pelangi. Apa yang terjadi hari ini biarkan terjadi hari ini, apa yang akan terjadi esok aku cukup hadapi, dan apa yang akan terjadi nanti aku cukup bersiap, aku cukup berjalan, meski tertatih asal aku tak berhenti.

Prastika Prabu S. “86”