Ku bawa secangkir kopiku keluar rumah dan duduk menyepi
didepan buk depan terasku. Kompleks perumahanku sudah begitu sepi, cuma
terlihat kucing-kucing peliharaanku yang sedang asyik kejar-kejaran dengan
kucing tetanggaku yang dibiarkan tidur diluar kandang, begitupun tikus-tikus
belang asyik bekerja menggali sampah di lahan kosong yang jadi tempat
pembuangan sampah warga. Ku rogohi kempol celana pendekku untuk memungut
handphoneku yang ada di dalamnya. Ku pilih sebuah track sendu yang asyik
diputar dalam suasana hatiku yang gelisah ini, Ebiet G.A.D, “titip rindu buat
ayah.”
Apa lagi
yang cocok disandingkan dengan secangkir kopi item selain sebatang rokok. Pas
sekali, memang tinggal sebatang dibungkusnya. Aku belum sempat beli lagi, beras
saja ku beli perkilo. Tak mungkin rasanya jika ku jajankan uangku untuk
sebungkus rokok meskipun itu hanya sebungkus Djarum Super. Disaat-saat kritis
seperti ini sayang rasanya membuang-buang uang untuk kepuasan pribadi. Akan
lebih bermanfaat jika digunakan untuk kepuasan bersama bukan?. Ku sulut ujungnya hingga merah lalu ku hirup
dalam-dalam dan ku buang sisa asapnya.
“Ayah………a….a..a….
Dalam hening se..pi ku
rin..duuuu…
Untuuuu…kk…. Menuai
padi milik kitaaaa…
Namunn kerinduan
tinggal ha..nyaa… kerinduan..
Anakmu seekarang banyak
me..nanggung beban…”
Ku nyanyikan sepenggal
reffrendnya, hanya dibagian itu saja yang ku suka dan begitu ingin ku teriakkan
hingga dia yang telah tenang di alam barzah itu terusik. Haha.. tapi yang benar
saja, itu Cuma sebuah hil yang mustahal.
Hmmm… lihat rumah baruku sekarang
ini, sudah begitu hangatnya dari terpaan angin jalanan, temboknya rapat,
atapnya dicor, jendelanya di jeruji dan gerbangnya tinggi. Hangat bukan? Namun
justru aku masih merasa dingin, bahkan sebagian sudut dari batinkupun mulai
membeku. Ini rumah, anak kecilpun mengatakan demikian, ya memang ini rumah.
Tapi, yakinkan aku, inikah yang bisa ku sebut sebagai rumah? Rumah seperti
inikah yang aku inginkan?
Bukannya aku tak bersyukur mamaku
menghadiahkan rumah ini sebagai milikku, tapi bukan rumah seperti ini yang ku
inginkan. Rumah dimana aku masih merasa kedinginan, rumah dimana aku masih
merasa kesepian. Tapi aku sadar, sekeras apapun aku menginginkannya, aku tetap
tidak akan pernah memilikinya. Inilah sebuah asa yang harus ku kubur
dalam-dalam karena tidak akan pernah bisa ku realisasikan. Mamaku tidak pernah
mau memberikan rumah yang seperti itu untukku.
Rumah itu adalah ayah. Ayah yang
selalu ku idam-idamkan. Ayah yang teman-temanku miliki. Ayah yang bisa menjadi
pondasi yang kokoh dari kerapuhan dan keputusasaan. Ayah yang bisa menjadi peneduh dari hujan dan
kemarau hidup. Ayah yang bisa menjadi dinding yang melindungi dari
binatang-binatang jalang. Ayah yang tangguh, yang selalu menjaga kehormatan
putrinya. Membalutkan sutra disekujur tubuh putrinya. Memakaikan mutiara
sebagai hiasan rambut putrinya dan memasangkan emas sebagai perhiasan putrinya.
Sayang, ayahku bukan ayah yang
seperti itu. Meskipun dia hidup, dia tidak akan pernah menjadi rumahku, namun
dia justru bisa menjadi rumah bagi anak-anaknya dari ibu-ibu lain. Sementara
aku? Batinku lumpuh tertimpa puing-puing rumahnya yang hancur dan ia tinggalkan
sejak perpisahan itu. Perpisahan yang sampai saat ini menjadi sepenggal kalimat
yang abadi terukir dalam setiap lembar diary depresiku.
Namun lihatlah aku, sudah ku
bersihkan puing-puing itu. Ku bangun rumahku sendiri. Menjadi suami bagi mamaku
dan menjadi ayah bagi jiwaku sendiri yang rapuh. Ku tempa diriku, mencoba
sekuat baja meski kenyataannya bajapun tetap bisa meleleh pada suhu tertentu.
Apa boleh buat, kita tidak bisa meminta tuhan kepada, dari, dan untuk siapa
kita diciptakan. Inilah hidup, cukuplah menjadi anak yang patuh dan ikuti saja
proses pertumbuhan dan perkembangan kita, sekalipun kadang sebuah buah dipaksa
ranum sebelum waktunya, sekalipun buah itu mengeluh tak memungkiri bahwa ia
pasti akan ranum dan membusuk pada akhirnya.
Dan dalam sisa seteguk kopiku yang
mulai dingin ditiup angin 12 malam, terlintas sebuah inspirasi yang membuatku
menciptakan sebuah puisi yang ku ketik di konsep pesan telpon selularku.
SEBUAH ASAKU UNTUK AYAH
Andai bisa ku duduk,
Di pangkuhanmu…
Saat ayah anak-anak lain
Berandai-andai tentang
anak-anaknya…
Memimpikan mereka berhasil dalam
hidupnya,
Andai
bisa ku merajuk,
Dalam
rengkuhanmu….
Saat
anak ayah-ayah lain,
Meludahiku…
Berbuat nakal
kepadaku,
Membuatku basah
karena air mataku
Andai bisa ku peras keringatmu,
Dari kemeja-kemeja kerjamu
Dan pori-pori kulitmu,
Akan ku buat memasak sepiring nasi
Dan ku minum seteguk…
Namun
aku hanya berandai-andai
Berkhayal
manja tentangmu…
Nyatanya,
aku hanya duduk menyepi….
Bermimpi
tentang keberhasilanku sendiri,
Merajuk
sendiri dalam sunyi..
Dan
ku peras keringatku sendiri
Untuk
melepas haus…. Untuk memuaskan lapar…
Sementara kau….
Kau
hanya sebatas asa
Ayah…..
“Prastika prabu 86” dalam semilir angin
malam menuju pagi….
19 Oktober 2014, 00:05