Monday 17 November 2014

GERIMIS NOVEMBER

            Terik mentari akhirnya mulai membeku seiring dengan mendung yang menggantung di langit  tengah hari yang kian redup. Desir angin yang berhembus mesra, menggelayut menggandeng jemariku yang sudah beberapa tahun ini kesepian. Semilirnya menambah senyap hawa tanah merah yang memuai dalam persemayaman para penghuni pusara.
            Aku berjalan membawa seikat mawar segar dan sebotol air yang telah ku campur misik. Cuma aku sendiri yang terlihat berjalan di setapak pemakaman yang terasa semakin mistis  karena hadirnya kabut yang tiba-tiba timbul. Sebuah aktifitas yang selalu ku lakukan setiap November datang.
            Ku hentikan langkahku tempat disamping pusara yang ku tuju. Pusara yang sudah sedikit usang dan masih ditumbuhi rumput bekas kemarau yang menguning kering namun bertunas segar karena diguyur hujan pemula beberapa hari lalu. Sepertinya memang hanya aku yang menjama pusaranya. Ku letakkan mawar yang ku bawa diatas kepalanya kemudian kuguyurkan air siraman yang ku genggam botolnya. Semerbaknya membawaku pada harum tubuhnya ketika masih mendampingiku dulu.
            Akupun duduk menyebelahi pusaranya. Ku lepas kacamataku, pelupuk mataku mulai basah ketika sebesit bayangnya mencumbu memoriku tentangnya yang mulai lemah seiring dengan rentang waktu dan jarak yang kian melangkah jauh menelannya. Memisahkanku darinya yang semakin tenang dalam rengkuhan-Nya.
Terkadang aku sendiri berpikir, betapa berdosanya aku setiap kali datang ke pusaranya. Aku selalu bisa menyempatkan waktu untuk datang ke pusaranya, namun tak sekalipun ku injakkan kakiku di pusara ayah kandungku sendiri. Dan seperti itulah kenyataannya. Dia dan ayahku bagaikan sebuah garis yang saling bertolak belakang. Saat ayahku hanya memberikanku hitam, dia justru memberikan warna-warna hidup yang cerah, sehingga dapat ku lihat keindahan dalam kelam.
Dia adalah pria pertama yang pernah membuatku jatuh. Seseorang yang membuatku berarti ditengah-tengah kehancuranku. Kakak tempatku bernaung, yang selalu siap membagi bahunya setiap kaliku datang dalam rapuh. Hanya dia yang selalu menanamkan wejangan-wejangan yang selalu membuatku tenang setiap kali ku mulai menyerah dan lelah. Ikhlas, tulus dan neriman adalah tiga kunci pokok yang selalu dia ajarkan padaku, sehingga aku mulai menghapus prasangka-prasangka negatifku akan takdir.
Satu pesan terakhir yang sempat dia ucapkan sebelum tuhan merebutnya dariku. Satu pesan yang selalu ku ingat…
” Nduk…tuhan tidak pernah menentukan baik buruknya takdir seseorang, baik dan buruknya takdir yang kamu terima adalah tergantung pada bagaimana kamu menerimanya dan menempatkan dirimu di mata tuhan,  cobaan dan ujian yang dia berikan hanyalah sebuah konflik yang akan membuat alur ceritamu menarik, maka hadapi saja dan jangan sekalipun mengeluh, ingat Nduk,… hujan tetap akan jatuh selagi air laut tetap menguap.”
            Semua tau, ajine tresno jalaran soko kulino. Jarak dan waktu memang bagaikan dua sisi mata pisau, satu sisi dapat menyatukan dua insan, namun disisi lainnya juga yang akhirnya memisahkan mereka. Sadar tak sadar, sudah merupakan hukum alam bahwa cinta yang paling sejati hanyalah cinta tuhan pada hambanya dan hamba pada tuhannya. Sebesar apapun kita mencintai seseorang, tetap tuhan yang paling berhak memilikinya. Mungkin suatu hari aku bisa menghapusnya dari hatiku, namun tidak dari masa laluku.

Prastika prabu S “86”
12-11-013


No comments:

Post a Comment