Terik mentari akhirnya mulai membeku seiring
dengan mendung yang menggantung di langit
tengah hari yang kian redup. Desir angin yang berhembus mesra,
menggelayut menggandeng jemariku yang sudah beberapa tahun ini kesepian.
Semilirnya menambah senyap hawa tanah merah yang memuai dalam persemayaman para
penghuni pusara.
Aku
berjalan membawa seikat mawar segar dan sebotol air yang telah ku campur misik.
Cuma aku sendiri yang terlihat berjalan di setapak pemakaman yang terasa
semakin mistis karena hadirnya kabut
yang tiba-tiba timbul. Sebuah aktifitas yang selalu ku lakukan setiap November
datang.
Ku
hentikan langkahku tempat disamping pusara yang ku tuju. Pusara yang sudah
sedikit usang dan masih ditumbuhi rumput bekas kemarau yang menguning kering
namun bertunas segar karena diguyur hujan pemula beberapa hari lalu. Sepertinya
memang hanya aku yang menjama pusaranya. Ku letakkan mawar yang ku bawa diatas
kepalanya kemudian kuguyurkan air siraman yang ku genggam botolnya. Semerbaknya
membawaku pada harum tubuhnya ketika masih mendampingiku dulu.
Akupun
duduk menyebelahi pusaranya. Ku lepas kacamataku, pelupuk mataku mulai basah
ketika sebesit bayangnya mencumbu memoriku tentangnya yang mulai lemah seiring
dengan rentang waktu dan jarak yang kian melangkah jauh menelannya.
Memisahkanku darinya yang semakin tenang dalam rengkuhan-Nya.
Terkadang aku sendiri
berpikir, betapa berdosanya aku setiap kali datang ke pusaranya. Aku selalu
bisa menyempatkan waktu untuk datang ke pusaranya, namun tak sekalipun ku
injakkan kakiku di pusara ayah kandungku sendiri. Dan seperti itulah
kenyataannya. Dia dan ayahku bagaikan sebuah garis yang saling bertolak
belakang. Saat ayahku hanya memberikanku hitam, dia justru memberikan
warna-warna hidup yang cerah, sehingga dapat ku lihat keindahan dalam kelam.
Dia adalah pria pertama
yang pernah membuatku jatuh. Seseorang yang membuatku berarti ditengah-tengah
kehancuranku. Kakak tempatku bernaung, yang selalu siap membagi bahunya setiap
kaliku datang dalam rapuh. Hanya dia yang selalu menanamkan wejangan-wejangan
yang selalu membuatku tenang setiap kali ku mulai menyerah dan lelah. Ikhlas,
tulus dan neriman adalah tiga kunci pokok yang selalu dia ajarkan padaku,
sehingga aku mulai menghapus prasangka-prasangka negatifku akan takdir.
Satu
pesan terakhir yang sempat dia ucapkan sebelum tuhan merebutnya dariku. Satu
pesan yang selalu ku ingat…
” Nduk…tuhan tidak pernah menentukan baik buruknya takdir
seseorang, baik dan buruknya takdir yang kamu terima adalah tergantung pada
bagaimana kamu menerimanya dan menempatkan dirimu di mata tuhan, cobaan dan ujian yang dia berikan hanyalah
sebuah konflik yang akan membuat alur ceritamu menarik, maka hadapi saja dan
jangan sekalipun mengeluh, ingat Nduk,… hujan tetap akan jatuh selagi air laut
tetap menguap.”
Semua
tau, ajine tresno jalaran soko kulino. Jarak dan waktu memang bagaikan dua sisi
mata pisau, satu sisi dapat menyatukan dua insan, namun disisi lainnya juga
yang akhirnya memisahkan mereka. Sadar tak sadar, sudah merupakan hukum alam
bahwa cinta yang paling sejati hanyalah cinta tuhan pada hambanya dan hamba
pada tuhannya. Sebesar apapun kita mencintai seseorang, tetap tuhan yang paling
berhak memilikinya. Mungkin suatu hari aku bisa menghapusnya dari hatiku, namun
tidak dari masa laluku.
Prastika prabu S “86”
12-11-013
No comments:
Post a Comment