Monday 17 November 2014

DALAM SEBUAH ASA 1

Ku bawa secangkir kopiku keluar rumah dan duduk menyepi didepan buk depan terasku. Kompleks perumahanku sudah begitu sepi, cuma terlihat kucing-kucing peliharaanku yang sedang asyik kejar-kejaran dengan kucing tetanggaku yang dibiarkan tidur diluar kandang, begitupun tikus-tikus belang asyik bekerja menggali sampah di lahan kosong yang jadi tempat pembuangan sampah warga. Ku rogohi kempol celana pendekku untuk memungut handphoneku yang ada di dalamnya. Ku pilih sebuah track sendu yang asyik diputar dalam suasana hatiku yang gelisah ini, Ebiet G.A.D, “titip rindu buat ayah.”
            Apa lagi yang cocok disandingkan dengan secangkir kopi item selain sebatang rokok. Pas sekali, memang tinggal sebatang dibungkusnya. Aku belum sempat beli lagi, beras saja ku beli perkilo. Tak mungkin rasanya jika ku jajankan uangku untuk sebungkus rokok meskipun itu hanya sebungkus Djarum Super. Disaat-saat kritis seperti ini sayang rasanya membuang-buang uang untuk kepuasan pribadi. Akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk kepuasan bersama bukan?.  Ku sulut ujungnya hingga merah lalu ku hirup dalam-dalam dan ku buang sisa asapnya.
“Ayah………a….a..a….
Dalam hening se..pi ku rin..duuuu…
Untuuuu…kk…. Menuai padi milik kitaaaa…
Namunn kerinduan tinggal ha..nyaa… kerinduan..
Anakmu seekarang banyak me..nanggung beban…”
            Ku nyanyikan sepenggal reffrendnya, hanya dibagian itu saja yang ku suka dan begitu ingin ku teriakkan hingga dia yang telah tenang di alam barzah itu terusik. Haha.. tapi yang benar saja, itu Cuma sebuah hil yang mustahal.
Hmmm… lihat rumah baruku sekarang ini, sudah begitu hangatnya dari terpaan angin jalanan, temboknya rapat, atapnya dicor, jendelanya di jeruji dan gerbangnya tinggi. Hangat bukan? Namun justru aku masih merasa dingin, bahkan sebagian sudut dari batinkupun mulai membeku. Ini rumah, anak kecilpun mengatakan demikian, ya memang ini rumah. Tapi, yakinkan aku, inikah yang bisa ku sebut sebagai rumah? Rumah seperti inikah yang aku inginkan?
Bukannya aku tak bersyukur mamaku menghadiahkan rumah ini sebagai milikku, tapi bukan rumah seperti ini yang ku inginkan. Rumah dimana aku masih merasa kedinginan, rumah dimana aku masih merasa kesepian. Tapi aku sadar, sekeras apapun aku menginginkannya, aku tetap tidak akan pernah memilikinya. Inilah sebuah asa yang harus ku kubur dalam-dalam karena tidak akan pernah bisa ku realisasikan. Mamaku tidak pernah mau memberikan rumah yang seperti itu untukku.
Rumah itu adalah ayah. Ayah yang selalu ku idam-idamkan. Ayah yang teman-temanku miliki. Ayah yang bisa menjadi pondasi yang kokoh dari kerapuhan dan keputusasaan.  Ayah yang bisa menjadi peneduh dari hujan dan kemarau hidup. Ayah yang bisa menjadi dinding yang melindungi dari binatang-binatang jalang. Ayah yang tangguh, yang selalu menjaga kehormatan putrinya. Membalutkan sutra disekujur tubuh putrinya. Memakaikan mutiara sebagai hiasan rambut putrinya dan memasangkan emas sebagai perhiasan putrinya.
Sayang, ayahku bukan ayah yang seperti itu. Meskipun dia hidup, dia tidak akan pernah menjadi rumahku, namun dia justru bisa menjadi rumah bagi anak-anaknya dari ibu-ibu lain. Sementara aku? Batinku lumpuh tertimpa puing-puing rumahnya yang hancur dan ia tinggalkan sejak perpisahan itu. Perpisahan yang sampai saat ini menjadi sepenggal kalimat yang abadi terukir dalam setiap lembar diary depresiku.
Namun lihatlah aku, sudah ku bersihkan puing-puing itu. Ku bangun rumahku sendiri. Menjadi suami bagi mamaku dan menjadi ayah bagi jiwaku sendiri yang rapuh. Ku tempa diriku, mencoba sekuat baja meski kenyataannya bajapun tetap bisa meleleh pada suhu tertentu. Apa boleh buat, kita tidak bisa meminta tuhan kepada, dari, dan untuk siapa kita diciptakan. Inilah hidup, cukuplah menjadi anak yang patuh dan ikuti saja proses pertumbuhan dan perkembangan kita, sekalipun kadang sebuah buah dipaksa ranum sebelum waktunya, sekalipun buah itu mengeluh tak memungkiri bahwa ia pasti akan ranum dan membusuk pada akhirnya.
Dan dalam sisa seteguk kopiku yang mulai dingin ditiup angin 12 malam, terlintas sebuah inspirasi yang membuatku menciptakan sebuah puisi yang ku ketik di konsep pesan telpon selularku.
SEBUAH ASAKU UNTUK AYAH
Andai bisa ku duduk,
Di pangkuhanmu…
Saat ayah anak-anak lain
Berandai-andai tentang anak-anaknya…
Memimpikan mereka berhasil dalam hidupnya,
                                    Andai bisa ku merajuk,
                                    Dalam rengkuhanmu….
                                    Saat anak ayah-ayah lain,
                                    Meludahiku…
Berbuat nakal kepadaku,
Membuatku basah karena air mataku
Andai bisa ku peras keringatmu,
Dari kemeja-kemeja kerjamu
Dan pori-pori kulitmu,
Akan ku buat memasak sepiring nasi
Dan ku minum seteguk…
                                    Namun aku hanya berandai-andai
                                    Berkhayal manja tentangmu…
                                    Nyatanya, aku hanya duduk menyepi….
                                    Bermimpi tentang keberhasilanku sendiri,
                                    Merajuk sendiri dalam sunyi..
                                    Dan ku peras keringatku sendiri
                                    Untuk melepas haus…. Untuk memuaskan lapar…
Sementara kau….
                                    Kau hanya sebatas asa
                                    Ayah…..

“Prastika prabu 86” dalam semilir angin malam menuju pagi….

19 Oktober 2014, 00:05

No comments:

Post a Comment