Malam telah mencapai puncaknya, tak
satupun suara manusia terbawa angin terdengar di telingaku. Pekat malam dan dingin romannya rupanya tengah
membekukan mata dan menyelimuti tubuh mereka. Sepertinya hanya aku satu-satunya manusia yang terjaga sendiri
di malam yang senyap ini, dirumah baruku yang hening, namun tenang dari mulut
burung-burung neraka itu.
Ku buka jendela kamarku. Semilir
angin langsung membelai halus wajahku, begitupun pendar rembulan yang cantik
mencumbuku. Ku panjat jendelaku itu dan duduk di kusennya. Hmmm…bunyi nafas
besarku. Malam ini seperti malam sebelumnya, aku belum pernah bisa tidur tenang
seperti yang lainnya.
Ku sulut ujung batang wismilakku,
satu-satunya teman setiaku setiap malam meski sedikit matrealistis. Ku hirupnya
dalam-dalam, ku rasakan nikmatnya, baru ku buang asapnya bersamaan dengan nafas
besar. Dadaku sangat sesak, bukan karena asap rokok, namun karena sebuah beban
yang serasa mengendap di batinku hingga penuh.
Entahlah mengapa ada banyak hal yang
terpikirkan selalu dalam benakku ini. Entah itu bagaimana aku makan esok hari,
bagaimana aku bayar tagihan listrik bulan ini
dan bagaimana aku bayar uang kuliah semester ini. Sementara itu melihat
teman-teman sebayaku yang lain, sepertinya terlihat sangat ringan menikmati
masa-masa remaja mereka, sedangkan aku justru berpikir layaknya seusia orang
tua mereka. Aku bahkan tak sempat memikirkan kebahagiaanku sendiri.
Kadang aku berpikir aku tidak lebih
beruntung dibandingkan mereka, namun akupun sadar masih ada yang jauh kurang
beruntung dibandingkan denganku, hal inilah yang selalu membuatku memupus
sendiri prasangka burukku tentang hidup. Yang ku sadari, hidup ini tak
memberikan kita pilihan melainkan kesempatan untuk kita menentukan dengan cara
seperti apa kita menikmatinya. Menikmati, yah menikmati adalah sebuah diksi
yang lebih ku pilih dibandingkan menjalani. Bukan apa-apa, aku hanya ingin
menanamkan sebuah sugesti yang dapat membangun efek lebih santai dibandingkan
jika ku gunakan kata menjalani yang terkesan lebih menunjukkan bahwa hidup ini
adalah sebuah beban.
Begitupunku selalu menikmati siklus hidup yang ku alami,
termasuk pula saat ini, saat dimana aku benar-benar jatuh. Kehilangan mata
pencaharian, difitnah orang, hampir putus kuliah, diremehkan mantan camer
sampai penyakit kronis yang tiba-tiba menyerang, semua datang bersamaan
menyerbu kesabaranku yang hanya
beberapa byte ini. Berat, aku
bohong jika ku bilang aku tak terbebani, namun aku selalu berusaha menikmatinya
karena aku berusaha untuk tidak mengeluh. Saat ini aku Cuma ingin menjalaninya
pelan-pelan dan menyelesaikannya satu persatu dengan tetap memegang teguh
keyakinanku pada tuhan meski sering kali aku nambeng dan dengan sadar melakukan
larangannya. Mengutip puisi karya Chairil Anwar yang sangat ku idolakan.
Doa..
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
cahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku…
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku..
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku..
Di pintumu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling..
Seperti isi puisi itulah ku
parafrasekan kehidupanku. Aku memang bukan orang yang khusuk seperti mereka
yang rajin sholat, rajin puasa, maupun sedekah. Aku bukan wanita yang pandai
menjaga aurat namun aku jamin aku pandai menjaga harkat dan martabat. Aku bukan
orang yang baik, dan aku memang tak ingin menjadi orang yang baik, namun aku
jamin aku bukan orang yang munafik. Intinya, walaupun aku ndablek, aku tetap
punya keyakinan bahwa Dia menciptakanku tidak untuk Dia tinggalkan dan senakal
apapun aku, aku tidak akan pernah mengingkari keberadaannya.
Ku pandangi
batang rokokku yang hampir habis. Apa sebenarnya yang aku cari? aku bahkan tak
dapat memprediksi apa yang akan terjadi esok, akankah langit tetap biru atau
justru berubah menjadi hitam. Setidaknya aku yakin, segelap apapun mendung dan
selebat apapun hujan, setelahnya pasti ada pelangi. Apa yang terjadi hari ini
biarkan terjadi hari ini, apa yang akan terjadi esok aku cukup hadapi, dan apa
yang akan terjadi nanti aku cukup bersiap, aku cukup berjalan, meski tertatih
asal aku tak berhenti.
Prastika Prabu S. “86”
No comments:
Post a Comment