Sunday 16 November 2014

DALAM SEBUAH ASA

Malam telah mencapai puncaknya, tak satupun suara manusia terbawa angin terdengar di telingaku. Pekat  malam dan dingin romannya rupanya tengah membekukan mata dan menyelimuti tubuh mereka. Sepertinya hanya  aku satu-satunya manusia yang terjaga sendiri di malam yang senyap ini, dirumah baruku yang hening, namun tenang dari mulut burung-burung neraka itu.
Ku buka jendela kamarku. Semilir angin langsung membelai halus wajahku, begitupun pendar rembulan yang cantik mencumbuku. Ku panjat jendelaku itu dan duduk di kusennya. Hmmm…bunyi nafas besarku. Malam ini seperti malam sebelumnya, aku belum pernah bisa tidur tenang seperti yang lainnya.
Ku sulut ujung batang wismilakku, satu-satunya teman setiaku setiap malam meski sedikit matrealistis. Ku hirupnya dalam-dalam, ku rasakan nikmatnya, baru ku buang asapnya bersamaan dengan nafas besar. Dadaku sangat sesak, bukan karena asap rokok, namun karena sebuah beban yang serasa mengendap di batinku hingga penuh.
Entahlah mengapa ada banyak hal yang terpikirkan selalu dalam benakku ini. Entah itu bagaimana aku makan esok hari, bagaimana aku bayar tagihan listrik bulan ini  dan bagaimana aku bayar uang kuliah semester ini. Sementara itu melihat teman-teman sebayaku yang lain, sepertinya terlihat sangat ringan menikmati masa-masa remaja mereka, sedangkan aku justru berpikir layaknya seusia orang tua mereka. Aku bahkan tak sempat memikirkan kebahagiaanku sendiri.
Kadang aku berpikir aku tidak lebih beruntung dibandingkan mereka, namun akupun sadar masih ada yang jauh kurang beruntung dibandingkan denganku, hal inilah yang selalu membuatku memupus sendiri prasangka burukku tentang hidup. Yang ku sadari, hidup ini tak memberikan kita pilihan melainkan kesempatan untuk kita menentukan dengan cara seperti apa kita menikmatinya. Menikmati, yah menikmati adalah sebuah diksi yang lebih ku pilih dibandingkan menjalani. Bukan apa-apa, aku hanya ingin menanamkan sebuah sugesti yang dapat membangun efek lebih santai dibandingkan jika ku gunakan kata menjalani yang terkesan lebih menunjukkan bahwa hidup ini adalah sebuah beban.
Begitupunku  selalu menikmati siklus hidup yang ku alami, termasuk pula saat ini, saat dimana aku benar-benar jatuh. Kehilangan mata pencaharian, difitnah orang, hampir putus kuliah, diremehkan mantan camer sampai penyakit kronis yang tiba-tiba menyerang, semua datang bersamaan menyerbu kesabaranku yang hanya  beberapa  byte ini. Berat, aku bohong jika ku bilang aku tak terbebani, namun aku selalu berusaha menikmatinya karena aku berusaha untuk tidak mengeluh. Saat ini aku Cuma ingin menjalaninya pelan-pelan dan menyelesaikannya satu persatu dengan tetap memegang teguh keyakinanku pada tuhan meski sering kali aku nambeng dan dengan sadar melakukan larangannya. Mengutip puisi karya Chairil Anwar yang sangat ku idolakan.
Doa..
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
cahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku…
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku..
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku..
Di pintumu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling..
Seperti isi puisi itulah ku parafrasekan kehidupanku. Aku memang bukan orang yang khusuk seperti mereka yang rajin sholat, rajin puasa, maupun sedekah. Aku bukan wanita yang pandai menjaga aurat namun aku jamin aku pandai menjaga harkat dan martabat. Aku bukan orang yang baik, dan aku memang tak ingin menjadi orang yang baik, namun aku jamin aku bukan orang yang munafik. Intinya, walaupun aku ndablek, aku tetap punya keyakinan bahwa Dia menciptakanku tidak untuk Dia tinggalkan dan senakal apapun aku, aku tidak akan pernah mengingkari keberadaannya.
          Ku pandangi batang rokokku yang hampir habis. Apa sebenarnya yang aku cari? aku bahkan tak dapat memprediksi apa yang akan terjadi esok, akankah langit tetap biru atau justru berubah menjadi hitam. Setidaknya aku yakin, segelap apapun mendung dan selebat apapun hujan, setelahnya pasti ada pelangi. Apa yang terjadi hari ini biarkan terjadi hari ini, apa yang akan terjadi esok aku cukup hadapi, dan apa yang akan terjadi nanti aku cukup bersiap, aku cukup berjalan, meski tertatih asal aku tak berhenti.

Prastika Prabu S. “86”

No comments:

Post a Comment