BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Islam
adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Dalam agama inilah, manusia diharuskan dapat
menciptakan hubungan baik dengan tiga hal. Hubungan yang dimaksud, yaitu
hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia dengan lingkungannya, dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya. Jika kita memiliki bekal ilmu yang
baik, ketiga hubungan tersebut dapat dilaksanakan dengan benar. Karenanya,
menuntut ilmu termasuk salah satu kewajiban setiap muslim.
Selain
alasan diatas, Allah SWT telah menciptakan manusia sebgai khalifah yang
bertugas menjaga keutuhan dunia ini. Manusia bertugas mengatur, memberdayakan
dan mengelolah segala sumber daya alam yang telah diciptakan Allah SWT ini demi
kepentingan dan hajat semua makhluk. Demi menjalankan misinya inilah manusia
diwajibkan menuntut ilmu agar dapat mengelolah bumi secara tepat dan benar.
Allah
SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurnah diantara
makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Manusia tidak hanya dikaruniai bentuk fisik
yang proporsional, perasaan namun juga akal dan pikiran berdasarkan fitrah dan
potensi dalam diri masing-masing. Dalam upaya mengembangkan potensi yang
dimilikinya sejak dilahirkan itulah manusia wajib menuntut ilmu, sehingga
potensi yang dimilikinya dapat bermanfaat dan berguna bagi semua umat dan
makhluk di dunia ini.
Kewajiban
menuntut ilmu, tidak hanya untuk bidang agama saja, tetapi mencakup semua
bidang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan tujuan agar melalui ilmu
tersebut manusia mampu melaksanakan ketiga hubungan secara seimbang. Perintah
menuntut ilmu tersebut diatur dalam Al-Quran dan Al-hadis. Ilmu tersebut dapat
kita jadikan sebagai bekal meniti jalan menuju kesuksesan hidup. Kesuksesan
yang tidak hanya dapat dirasakan di dunia saja tetapi juga di akhirat nantinya.
Dalam hal ini, ilmu merupakan salah satu bentuk muamalah duniawiyah. Allah SWT
mewajibkan setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan agar menuntut ilmu
setinggi mungkin, mulai dari usia anak-anak hingga tiba waktu berpulang
kepada-Nya.
Makalah
ini akan mengulas dan membahas lebih jauh mengenai kewajiban setiap muslim
dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya serta keutamaan-keutamaan yang diberikan
Allah bagi orang yang berilmu.
1.2.Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini, diantaranya:
1.
Apa
perintah yang mendasari manusia harus menuntut ilmu?
2.
Bagaimana
keutamaan yang didapatkan orang-orang yang berilmu?
3.
Bagaimana
kedudukan orang-orang berilmu atau alim ulama’ dalam agama islam?
4.
Apa
hakikat yang terkandung dalam ayat-ayat allah?
5.
Apa
kesatuan antar ayat qauliyah dan ayat kauniyah?
1.3.Tujuan
Adapun
tujuan dalam pembahasan makalah ini, antara lain:
1.
Untuk
menjelaskan perintah yang mendasari manusia harus menuntut ilmu
2.
Untuk
mengetahui keutamaan yang didapatkan orang-orang yang berilmu
3.
Untuk
menjelaskan kedudukan orang-orang berilmu atau alim ulama’ dalam agama islam
4.
Untuk
mengetahui hakikat yang terkandung dalam ayat-ayat allah
5.
Untuk
mengetahui kesatuan antar ayat qauliyah dan ayat kauniyah
1.4.Manfaat
Adapun
manfaat yang akan didapat melalui pembahasan makalah ini, meliputi
1. Bagi penulis
Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah
dipelajari dan mengamalkannya bagi pembaca, sekaligus sebagai sebuah jalur
dakwah islamiyah.
2. Bagi pembaca
Diharapkan dapat menambah wawasan dan
kesadaran pembaca mengenai pentingnya berilmu, sehingga dapat lebih serius dan
tekun dalam menuntut ilmu karena tidak ada kata berhenti dalam belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perintah
Menuntut Ilmu
2.1.1.
Perintah Menuntut Ilmu Dalam Al-Quran
Allah Swt. memerintahkan
kepada hambanya untuk menuntut ilmu. Ilmu yang bermanfaat tentunya
menjadi prioritas utama untuk diketahui dan dipahami oleh setiap manusia. Mulai
dari ilmu agama hingga ilmu pengetahuan lainnya, semua sangat berguna bagi
manusia untuk menjalani kehidupannya. Ayat yang menjadi dasar perintah Allah
dalam menuntut ilmu adalah Q.S Al- Alaq 1-5 yang diturunkan pada nabi muhammad
di gua hira. Berikut adalah Q.S Al- Alaq 1-5 beserta terjemahan dan pokok
kandungan ayatnya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menjadikan”.
Ayat di atas tidak menyebutkan
objek bacaan maka dari itu kata iqra’ digunakan dalam arti
membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dank arena objeknya bersifat
umum, maka objek tersebut mencakup segala yang terjangkau, baik yang merupakan
bacaan suci yang bersumber dari tuhan maupun bukan.
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“ Menjadikan manusia dari
segumpal darah.”
Salah satu cara yang ditempuh
oleh Al-Qur’an untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah
adalah memperkenalkan jati dirinya antara lain dengan menguraikan proses
kejadiannya.
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ
“Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha Pemurah”.
Dalam ayat ini Allah SWT
memerintahkan kembali nabinya untuk membaca, karena bacaan tidak dapat melekat
pada diri seseorang kecuali dengan mengulang-ngulangi dan membiasakannya. Nabi
saw dapat membaca adalah dengan kemurahan Allah. Dengan demikian hilanglah
keuzuran Nabi saw yang beliau kemukakan kepada Jibril ketika menyuruh beliau
membaca; “saya tidak pandai membaca, karena saya seorang buta huruf yang tidak
pandai membaca dan menulis. “
Ayat Al-Quran yang dibaca oleh
generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni, adalah sama tidak berbeda,
namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
“ Yang mengajar dengan
(perantaraan) qalam”.
Dengan ayat ini Allah menerangkan
bahwa Dia menyediakan alam sebagai alat untuk menulis, sehingga tulisan itu
menjadi penghubung antar manusia walaupun mereka berjauhan tempat, sebagaimana
mereka berhubungan dengan perantaraan lisan.
عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Dia mengajar manusia sesuatu
yang tidak diketahui”.
Dalam ayat ini Allah menambahkan
keterangan tentang kelimpahan karunia-Nya yang tidak terhingga kepada manusia,
bahwa Allah yang menjadikan Nabi-Nya pandai membaca.
Ayat diatas merupakan wahyu
pertama yang diturunkan Allah Swt. kepada Rasulullah Muhammad Saw. Selain itu,
dalam ayat tersebut dapat diketahui perintah Allah Swt. kepada manusia untuk
menuntut ilmu, dan dijelaskan juga sarana yang dapat digunakan untuk menuntut
ilmu serta kenikmatan yang diperoleh bagi orang-orang yang berilmu. Selain itu
adapun ayat-ayat lain yang memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu, antara
lain:
QS.Az-Zumar
[39]: 9
“…Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.”
Dalam ayat tersebut disampaikan
bahwa terdapat perbedaan antara orang yang berilmu dan tidak berilmu. Orang
berilmu akan mampu menyadari kelemahan dirinya sebagai hamba Allah Swt.,
memahami tanda-tanda kebesaran Allah Swt. dan memahami bagaimana sebenarnya
takwa. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu akan mudah mendustakan
nikmat-nikmat Allah Swt.
QS.Al-Ashr
[103]:1-3
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.”
Dalam ayat-Nya ini, Allah Swt.
telah bersumpah atas nama masa/waktu yang di dalamnya terdapat kejadian yang
baik dan yang buruk. Selain itu, Allah Swt. juga bersumpah bahwa setiap manusia
yang berada di dunia ini pasti akan mengalami kerugian, kecuali bagi yang
memiliki bekal dalam hidupnya. Bekal tersebut, yaitu iman, amal shaleh, saling
menasehati supaya mentaati kebenaran, saling menasehati supaya menetapi
kesabaran.
QS.At Taubah [9]: 122
“Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Maksud ayat tersebut adalah agar
ada beberapa orang yang menuntut ilmu agama dan memberi peringatan kepada
kaumnya. Tujuannya, yaitu apabila yang telah ikut ke medan perang telah kembali
supaya tetap dapat menjaga dirinya.
QS.Al-Ankabut
[29]: 43
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini
Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang
berilmu.”
Itulah beberapa ayat dalam
Al-Quran yang menunjukkan perintah Allah Swt. untuk menuntut ilmu. Karenanya,
manusia tidak boleh lalai dalam hal satu ini. Ketika manusia melalaikan ilmu,
semakin tersesatlah mereka di jalan yang tidak semestinya. Allah Swt. pun
menempatkan orang-orang yang menuntut ilmu pada kedudukan tinggi baik di dunia
maupun di akhirat nantinya.
Terlebih lagi ketika ilmu
tersebut diamalkan kepada orang lain, seperti halnya para imam madzhab yang
sampai kini kitab hasil karya mereka digunakan oleh semua umat manusia meski
beliau telah tiada, maka orang tersebut akan sangat beruntung. Dengan menyampaikan
ilmu kepada orang lain, Allah akan memberikan pahala yang besar sebagai bekal
di akhirat nanti.
2.1.2.
Perintah Menuntut Ilmu Dalam Hadits
Selain
dalam Al-Quran, perintah menuntut ilmu juga terdapat dalam Al-Hadis. Apa yang
telah diperintahkan Allah Swt, dilaksanakan langsung oleh Nabi Muhammad Saw.
Segala ucapan dan perbuatan yang telah dilakukan Rasulullah atas dasar perintah
Allah Swt, dicatat dan dirangkum dalam A-Hadis oleh para sahabat Rasulullah.
Perintah wajib menuntut ‘ilmu bagi setiap Muslim ini,
terdapat dalam Hadits :
طَــلَبُ الْـعِـلْمِ فَـرِ يْـضَـةٌ عَـلىَ كُـلِّ
مُسْــلِـمٍ وَ مُسْـلِـمَـةٍ
Menuntut ‘ilmu adalah fardhu kifayah bagi tiap-tiap
Muslim baik ia Laki-laki maupun Wanita”. (Ibnu‘Abdil baar).
Berikut ini beberapa hadis
mengenai perintah menuntut ilmu yaitu:
1. Menuntut ilmu/belajar wajib bagi setiap
mukmin baik pria dan wanita
“Mencari ilmu itu wajib bagi
setiap orang Islam laki-laki dan perempuan” (HR.
Ibnu Abdul Barr)
Dalam Hadis tersebut menunjukkan
bahwa menuntut ilmu diperintahkan untuk siapapun, baik laki-laki maupun
perempuan. Mulai dari usia anak-anak, orang dewasa bahkan orang tua. Selagi
Allah Swt. memberi kesempatan hidup di dunia ini, maka kita hendaknya terus
berupaya maksimal menuntut ilmu bermanfaat di dunia dan akhirat nantinya.
2.
Belajar atau mencari ilmu sampai ke negeri Cina
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai
ke negeri Cina”. (HR. Ibnu Adi
dan Al-Baihaqi dari Anas)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa
tempat untuk menuntut ilmu tidak terbatas pada satu tempat saja. Hal itu juga
menunjukkan bahwa menuntut ilmu tidak hanya terbatas pada satu orang guru saja.
3.
Difardhukan atas setiap muslim yang berakal
“Menuntut
ilmu itu fardhu atas setiap muslim”. (HR.
Abu Na’im dari hadis ‘Ali)
Hadis ini menunjukkan hukum dari
menuntut ilmu bagi setiap muslim adalah wajib/fardhu. Artinya orang yang tidak
mencari ilmu berarti akan menanggung dosa.
4.
Dimudahkan untuk sampai ke surga di akhirat
“Barang siapa yang menempuh jalan yang padanya ia
menuntut ilmu, maka Allah menempuhkannya jalan ke surga”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Inilah Hadis yang menunjukkan
mudahnya hamba Allah SWT menuju surga. Ilmu tersebut tentunya yang ia telah
ketahui, pahami dan amalkan dalam kehidupannya.
5.
Menuntut ilmu dikarenakan ketakwaan dan ilmu adalah sahabat yang setia
“Rasulullah Muhammad Saw. bersabda, ‘Belajarlah ilmu
karena sesungguhnya belajarnya karena Allah itu adalah taqwa, menuntutnya itu
adalah ibadah, mempelajarinya itu tasbih, membahasnya itu adalah jihad,
mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya itu adalah sedekah,
memberikannya kepada keluarganya itu adalah pendekatan diri (kepada Allah).
Ilmu itu adalah penghibur di kala sendirian, teman di kala sepi, penunjuk
kepada agama, pembuat sabat di kala suka dan duka, kerabat di kala dalam
kalangan orang asing dan sebagai menara jalan ke surga. Dengannya Allah
mengangkat kaum-kaum, lalu Dia menjadikan mereka sebagai ikutan, pemimpin, dan
penunjuk yang diikuti, penunjuk pada kebaikan, jejak mereka dijadikan kisah dan
perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat senang terhadap perilaku mereka dan
mengusap mereka dengan sayap mereka (malaikat). Setiap barang yang basah dan
kering sehingga ikan di lautan, serangga, binatang buas dan binatang jinak di
daratan, dan langit serta bintang memohonkan ampun bagi mereka.” (Dari Muadz bin Jabbal)
Ilmu adalah bekal yang indah
menuju kebaikan dalam amal. Ketika ilmu yang dipelajari benar, maka dari itu
amalan orang yang menuntut ilmu tersebut juga benar. Ilmu juga layaknya cahaya
penerang di kegelapan sekaligus harapan setiap manusia. Orang yang memiliki
ilmu, akan menjalani kehidupan dengan benar berdasarkan kebenaran ilmu yang
didapati dan dipelajarinya. Ketika manusia memiliki cita-cita setinggi langit,
tentu saja cita-cita itu akan dapat dicapai dengan bekal ilmu yang cukup dan
sesuai harapan. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung dan
dimudahkan memasuki surga Allah Swt. Hal ini sesuai dengan hadis: apabila telah meninggal dunia seorang anak
adam, maka putuslah semua amalannya, kecuali tiga perkara, yaitu: amal jariyah,
ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakannya.
2.2. Keutamaan Orang
Berilmu
Menuntut ilmu termasuk bagian
penting dalam kehidupan. Jika ilmu ditinggalkan, maka manusia akan kesulitan
dalam menjalani kesehariannya di dunia ini bahkan di akhirat nantinya. Allah
Swt. pun telah mengharuskan setiap hambanya untuk menuntut ilmu, baik ilmu
agama maupun pengetahuan lainnya. Tujuannya tentu saja berkaitan dengan
kehidupan manusia dalam mempersiapkan diri menuju kehidupan yang abadi, yaitu
akhirat. Islam telah mengajarkan kepada seluruh umatnya untuk senantiasa
memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu. Karena mencari ilmu atau
sering dikenal sebagai belajar, termasuk amalan yang memiliki tempat mulia di
mata Allah Swt.
Orang yang berilmu senantiasa
diharapkan untuk membagi ilmunya kepada orang lain. Cara berbaginya pun
bervariasi sesuai kemampuan masing-masing. Cara tersebut tentunya harus sesuai
perintah Allah Swt, mulai dari ahsan, hikmah, sampai nasihat. Ketiga cara
tersebut maknanya sebagai berikut.
a. Ahsan artinya baik. Cara ini menjadi dasar utama
setiap orang berilmu yang mengajarkan atau mengamalkannya kepada orang lain.
Baik dalam artian sesuai perintah Allah Swt. ketika memandang dan menilai
amalan tersebut, misalnya ramah atau bahkan sopan kepada orang yang diajarinya.
b. Hikmah artinya ilmu tersebut dapat memberikan manfaat
kepada orang yang sedang mempelajarinya. Oleh karena itu, orang berilmu tidak
boleh melupakan dasar cara ini.
c. Nasihat artinya orang berilmu tersebut mengajarkan
ilmu yang benar. Ia menyampaikannya sebagai bentuk nasihat bahwa ilmu tersebut
sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Akan tetapi, hati-hati dengan sikap yang
tidak menggurui meski Anda misalnya, telah mempelajarinya lebih dulu.
Ilmu agama serta ilmu pengetahuan
lainnya tidak hanya sebatas dimiliki oleh diri sendiri tapi juga dianjurkan
untuk diamalkan. Ketika ilmu tersebut diamalkan, secara langsung kegiatan itu
dijadikan sebagai tabungan amal seorang muslim. Allah Swt. menempatkan orang
yang memiliki banyak amal juga pada posisi yang tinggi di sisi-Nya. Mengamalkan
ilmu tidak sebatas yang dianggap butuh saja untuk disampaikan, tapi segala yang
dimiliki yang bermanfaat bagi kehidupan.
Dalam berbagi ilmu, janganlah
melihat orang yang mau belajar berdasarkan statusnya, kaya atau miskin. Karena,
hal-hal duniawi seperti biaya, jenis pakaian, atau tempat belajar tidak akan
diperhitungkan oleh Pencipta alam semesta ini. Wajar saja, jika hal-hal
tersebut tidak dijadikan pemberat timbangan amal atau keutamaan orang berilmu.
Islam senantiasa mengajarkan pemeluknya untuk tidak membedakan status
saudaranya yang lain. Alasannya tentu berkaitan dengan perintah Allah Swt.
tentang kedudukan seorang muslim sama dihadapan Tuhan Pencipta alam semesta
ini. Hal yang membedakannya, yaitu ketakwaan. Oleh itulah, hanya Allah Swt.
yang berhak menilai hambanya dan bukan kita sebagai manusia.
Dalam agama Islam, orang berilmu
memiliki keutamaan. Keutamaan tersebut hendaknya dapat mendorong semangat
setiap muslim. Adapun beberapa keutamaan orang berilmu menurut Islam di
antaranya adalah sebagai berikut.
a. Orang yang berilmu berada pada kedudukan paling tinggi
daripada orang dengan amalan lainnya, sekalipun dia termasuk ahli ibadah di dunia
ini. Alasannya yaitu orang ahli ibadah melakukan amalan yang berkaitan dengan
diri mereka masing-masing. Meskipun dia sering salat, puasa, atau ibadah
lainnya yang hanya untuk dirinya sendiri, kedudukan mereka di sisi Allah Swt.
tetap berada di posisi selanjutnya setelah orang yang mengamalkan ilmunya. Lain
halnya orang yang berilmu, mereka belajar mulai dari membaca, menulis bahkan
menghafal ilmunya bukan hanya digunakan untuk diri mereka sendiri, akan tetapi
ilmu yang mereka pelajari akan diamalkan juga kepada orang lain. Inilah yang
menjadikan orang berilmu memiliki keutamaan lebih daripada orang beramal
lainnya. Ilmu yang disampaikan kepada orang lain, tentu ilmu yang bermanfaat
bagi kehidupan.
b. Adapun keutamaan lainnya, bahwa orang berilmu dikatakan
sebagai pewaris para nabi. Hal ini dapat diketahui dari sosok ulama besar
seperti ulama dalam 4 madzhab.
c. Orang berilmu juga akan mendapatkan pahala yang
jumlahnya tidak dapat dihitung oleh manusia. Pahala itulah yang akan membantu
setiap orang berilmu untuk masuk ke surga-Nya.
2.3. Kedudukan
Ulama Dalam Islam
2.3.1.
Pengertian ulama
Apresiasi al-quran tidak hanya
tergambar dari penyebutan kata ‘alim dan derivasinya yang mencapai 823 kali,
tetapi terdapat sekian uangkapan yang bermuara kesamaan makna seperti al-aql,
al-fikr, al-nazhr, al-basyar, al-tadabbur, al-‘itibar dan al-dzikr. Kata عالم a>lim yang juga merupakan akar
kata dari ulama menurut pakar ahli al-quran Raghib al-ashfahani bermakna
pengetahuan akan hakikat sesuatu.
Ulama secara terminologi berasal
dari akar kata علم, يعلم yang
berarti mengetahui, Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata
‘alim عالم. ‘Alim adalah isim
fail dari kata dasar علم (‘ilmu)
. Jadi عالم ‘alim adalah
orang yang berilmu. Dan علماء ‘ulama
adalah orang-orang yang punya ilmu. kata 'alim bermakna suatu
pengaruh/bekas atau kemuliaan yang membedakannya dengan yang lain adapun kata
ulama, dipahami sebagai orang yg memadukan pengetahuannya dengan pengamalannya.
Secara garis besar ulama terbagi
atas 2 golongan diantaranya
a. Ulama salaf
Kata Salaf dari sisi bahasa
berarti segala sesuatu yg terdahulu atau telah lewat. Definisi Salaf secara
bahasa Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab :artinya sekelompok orang
yg ada di masa lalu, dalam hal ini salaf dipahami sebagai cara berpikir
ulama-ulama terdahulu (sahabat dan generasi berikutnya). As-Salaf juga adalah
orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka
itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi
pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh.
b. Ulama khalaf
Kata
khalaf secara bahasa memiliki tiga arti yaitu :
1. bermakna
sesuatu yg datang secara brgiliran
2. antonim
terdahulu
3. sesuatu
yang berbeda
sedangkan menurut istilah khalaf
adalah kebalikan dari salaf
2.3.2.
Kedudukan ulama
Tidak ada sebuah kitabpun kecuali
Al Qur’an, yang memuliakan kedudukan ulama. Hal itu menunjukkan
adanya perintah mengkaji berbagai ilmu sebagaimana firman Allah di bawah ini:
إِنَّمَا يَخْشَى
اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya : ”……Sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Faathir : 28)
Dari sini tidak berlebihan jika
ada yang mengatakan bahwa sejak awal agama islam telah bercirikan ilmiah dan
rasional. Ciri tersebut sejalan dengan subtansi ajaran islam yang menuntut
seseorang yang mengimaninya untuk terlebih dahulu memeiliki ilmu pengetahuan.
Karena itu tidak berlebihan jika
abbas Mahmud al aqqad seorang cendekiawan terkemuka di Mesir mengatakan,
berfikir dalam rangka mencari kebenaran merupakan bagian dari kewajiban islam. Dan
Allah menjadikan mereka (para ulama) sebagai makhluk yang berkedudukan tinggi
setelah malaikat, dalam masalah kesaksian keesaan Allah SWT. Lihat
dan perhatikan ayat berikut ini:
شَهِدَ اللَّهُ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا
بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم
”Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang berilmu (juga menyatakan demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Al Qur’an surat Al Mujadalah ayat
11 dan Ali Imran ayat 3 juga menyebutkan janji Allah tentang akan mengangkat
derajat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan pada derajat lebih tinggi.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
”Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا
Rasulullah melalui
hadist-hadistnya juga menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa mencari dan
memiliki ilmu pengetahuan agar dalam beribadah maupun dalam bertingkah laku
mencerminkan muslim yang kaffah yang diberi kemuliaan dan kedudukan mulia di
sisiNya.
Para ilmuan (alim ulama’) menurut
sunnah rosul adalah pewaris para nabi. Tinta mereka lebih mulia dari darah
orang-orang yang mati syahd. Tuhan akan memudahkan jalan ke surga bagi
orang-orang yang berilmu di tengah-tengah para nabi dan syuhada’ dihadapan
tuhan di akhirat nanti.
2.3.3. Ciri-ciri ulama
Di antara ciri-ciri ulama adalah:
·
Ibnu Rajab Al-Hambali
rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan
kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri
atas seorang pun.”
·
Al-Hasan mengatakan:
“Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat,
bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada
Rabbnya.”
·
Dalam riwayat lain:
“Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak
menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun
dalam menyampaikan ilmu Allah.
·
Ibnu Rajab Al-Hambali
rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu,
tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi
orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”
·
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka
sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama
pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat
mereka atau mendekatinya.”
·
Mereka adalah
orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan
memahaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ
أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya : Apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada
kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.”
·
Mereka adalah
orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
1.
وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ
عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا (106) قُلْ آَمِنُوا بِهِ أَوْ لَا
تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى
عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107) وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ
رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (108) وَيَخِرُّونَ
لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu
kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka
berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”.
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyu’.”
2.3.4.
Tugas Ulama’
Setelah mengetahui ciri-ciri
ulama maka ulama pun memiliki beberapa tugas karena itulah ulama sering
dikatakan bahwa ulama adalah ahli waris nabi karena itu ulama mempunyai tugas
sesuai dengan apa yang dikerjakan nabi. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah
:
1. Menyampaikan
ajaran kitab suci itu secara baik dan bijaksana.dengan tidak mengenal takut dan
siap menanggung resiko.
يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya : Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir
2. Menjelaskan kandungan
kitab suci.
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.[34]
3. Member putusan atas
problem yang terjadi di masyarakat.
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ
أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya : Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah
timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan
di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah
berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada
mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
2.4.
Kesatuan Antar Ayat Qauliyah Dan Kauniyah
Makrifatullah
adalah buah dari ilmu, ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan,
bahwa tiada tuhan selain Allah (Laa
ilaaha illahhal). Untuk itulah, agar dapat meraih kebahagiaan yang abadi
manusia wajib mengenal Allah SWT. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya baik
kauniyah maupun kauliyah.
Allah
SWT tidak menampilkan wujud dzatnya yang maha hebat dihadapan
makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat
sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata
kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan sesama manusia untuk
mengikuti nabi SAW, supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan
sekali-kali berpikir tentang dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda
kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat
al-Quran agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah
Ayat Qauliyah
Ayat Qauliyah
Ayat-ayat
qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an.
Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, termasuk tentang cara mengenal Allah. misalkan:
QS. At-Tin (95): 1-5
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
Ayat Kauniyah
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
Ayat Kauniyah
Ayat
kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh
Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan
sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu
dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturan-Nya yang unik, maka
ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya. Misalkan, QS.
Nuh (41): 53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
2.5.Hakikat Ayat-Ayat Allah Dan Integrasi IPTEK Dengan
Al-Quran
Al-Qur’an
adalah sebuah kitab suci yang mempunyai kesempurnaan isi, segala sesuatu
dijelaskan di dalamnya dan tidak satu pun yang terlupakan. Al-Quran adalah
kitab petunjuk dan pegangan keagamaan yang terjaga dan terpelihara
keotentikannya. Kesempurnaaan Al-Qur’an tidaklah berarti memerinci segala aspek
vertikal dan horizontal manusia secara menyeluruh dan absolut kesempurnaanya
terletak pada dasar-dasar pokok dan isyarat-isyaratnya. Keabsolutannya hanyalah
terletak pada semua teks arabnya yang memang benar-benar datang dari Allah SWT,
atau dikenaldengan qathi’i al-wurud.
Akan tetapi,
meskipun demikian tidak semua ayat Al-Qur’an mengandung arti jelas (qath’iy
al-dalalah). Banyak diantaranya mengandung arti yang tidak jelas (zhanny
al-dalalah), yang akibatnya menimbulkan interpretasi yang
berbeda-beda. Menurun Harun Nasution, hal yang diakui sebagai wahyu dalam
islam adalah teks arab Al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad dan jibril.
Kalau
sudah diubah susunan kata ataupun diganti kata atau sinonimnya, hal itu tidak
lagi wahyu, tetapi sudah merupakan penafsiran dari ayat Al-Qur’an. Penafsiran
bukanlah wahyu, tetapi adalah hasil ijtihad atau pemikiran manusia. Terjemahan
merupakan salah satu penafsiran ayat yang sesuai dengan kecenderungan
penerjemah yang bersangkutan. Kecenderungan sufi berlainan dengan kecenderungan
teolog dan kecenderungan teolog berlainan pula dengan kecenderungan filosof dan
kecenderungan ahli hukum berlainan dengan sufi dan begitulah seterusnya.
Bila
diamati, dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dua bentuk realitas, yaitu realitas
yang dapat didekati dengan pengalaman empiris melalui eksperimen dan observasi
dan realitas yang berada di luar jangkauan pengalaman inderawi.
Realitas
yang dapat didekati dengan pengalaman empiris memiliki akar teologis dengan
ayat-ayat kauniah dan eksistensi individu dalam masyarakat.
Untuk menjabarkan dan memahami realitas ini, penalaran mempunyai posisi yang
sangat strategis dan menentukan.
Di
pihak lain, ada realitas yang berada di luar pengalaman manusia yaitu bagian
metafisik yang lebih memerlukan pendekatan iman. Untuk realitas ini, Al-Qur’an
menggunakan ungkapan al-ghalib. Muhammad Assad mendefinisikan
realitas metafisik sebagai realitas yang berada di luar persepsi metafisik
sebagai realitas yang berada di luar persepsi manusia dan tidak dapat
dibuktikan melalui observasi ilmiah.
Memahami
ayat-ayat yang berhubungan dengan kauniah dan eksistensi manusia dalam
masyarakat tidaklah cukup dengan memerhatikan tafsiran teksnya secara harfiah,
tetapi haruslah melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama ilmu kealaman dan
ilmu-ilmu sosial. Di samping itu, seorang penafsir harus memerhatikan konteks
ayatnya, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupinya dan keadaan sosial
kulturalnya.
Dengan
munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan
tersebut, baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an tidak hanya harfiah saja, tetapi haruslah dengan cara
pendekatan teoritis. Objek pengamatan yang sama bisa tampak berbeda, karna
perbedaan cara penglihatan atau perbedaan pendekatan teori yang kita pakai. Hal
ini bisa dimengerti sebab teori tersebut akan membentuk realitas yang diamati.
Demikian halnya ketika kita memahami dan menafsirkan Al-Qur’an yang dianggap
sebagai realitas, sebagai wujud ketentuan-ketentuan tuhan yang pasti dan jelas
tertulis.
Indikasi
diatas menunjukkan bahwa penafsiran akan berbeda apabila pendekatan dan teori
yang digunakan berbeda. Hasil penafsiran menggunakan paradigma ilmiah tidaklah
sama dengan hasil penafsiran secara harfiah. Untuk itu, penafsiran Al-Qur’an
yang banyak melibatkan disiplin ilmu pengetahuan akan menghasilkan teori-teori
baru dari realitas Al-Qur’an. Dengan realitas ini, objek pengamatan yang
terdapat dalam masyarakat dapat diamati secara lebih konstektual dan
menghasilkan penjelasan-penjelasan yang lebih bisa diterima, baik yang
berhubungan dengan peristiwa sejarah masa lampau maupun keadaan sekarang.
Bertitik
tolak dari realitas Al-Qur’an sebagai realitas yang dapat didekati melalui
pengalaman empiris sejalan dengan sinyalemen Al-Qur’an tentang ayat-ayat
kauniah dan eksistensi manusia dalam masyarakat,maka sesusungguhnya tepat
apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan secara ilmiah dan memadukannya secara
relevansif dengan perkembangan ilmu pengetahuan melalui pendekatan analitis
interdisipliner dan kontekstual.
Penafsiran
terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa akan mencul
tafsiran baru sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Hal ini
relevan dengan karakteristik Al-Qur’an itu sendiri yang mengandung berita masa
silam dan keadaan masa depan. Dengan melakukan penelitian dan pengamatan
terhadap isyarat-isyarat Al-Qur’an akan membuka tabir rahasia-rahasia yang
belum tersentuh oleh generasi sebelumnya. Hakikat ayat sebagai simbol wahyu
yang tampak dan tersurat tidak dapat dipisahkan dengan sesuatu yang tersirat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
1. Allah Swt. memerintahkan kepada hambanya untuk
menuntut ilmu. Ilmu yang bermanfaat tentunya menjadi prioritas utama
untuk diketahui dan dipahami oleh setiap manusia. Ayat yang menjadi dasar
perintah Allah dalam menuntut ilmu adalah Q.S Al- Alaq 1-5 yang diturunkan pada
nabi muhammad di gua hira.
2.
Dalam agama Islam,
orang berilmu memiliki keutamaan, di antaranya adalah sebagai
berikut.:
1)
Orang yang berilmu
berada pada kedudukan paling tinggi daripada orang
dengan amalan lainnya, sekalipun dia termasuk ahli ibadah di dunia ini
2)
Orang berilmu
dikatakan sebagai pewaris para nabi.
3)
Orang berilmu juga
akan mendapatkan pahala yang jumlahnya tidak dapat
dihitung oleh manusia
3.
Ulama adalah
orang-orang yang punya ilmu. kata 'alim bermakna suatu pengaruh/bekas atau
kemuliaan yang membedakannya dengan yang lain adapun kata ulama, dipahami
sebagai orang yg memadukan pengetahuannya dengan pengamalannya.
4. Ayat-ayat
qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an.
Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan
oleh Allah.
5. Penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah
berakhir. Dari masa ke masa akan mencul tafsiran baru sesuai dengan
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Hal ini relevan dengan karakteristik
Al-Qur’an itu sendiri yang mengandung berita masa silam dan keadaan masa depan.
Dengan melakukan penelitian dan pengamatan terhadap isyarat-isyarat Al-Qur’an
akan membuka tabir rahasia-rahasia yang belum tersentuh oleh generasi
sebelumnya. Hakikat ayat sebagai simbol wahyu yang tampak dan tersurat tidak
dapat dipisahkan dengan sesuatu yang tersirat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 2013. Pendidikan
Agama Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
www.bimbie.com: 11 Maret 2015, tentang: Kewajiban Menuntut Ilmu Dalam Agama Islam
www.qolbiah.blogspot.com
: 22 November 2011, tentang: Perintah
Wajib Menuntut Ilmu
www.zuridanmdaud.blogspot.com: 8 September
2013, tentang: Ayat Qauliyah Dan Ayat Kauniyah
No comments:
Post a Comment